Minggu, 15 Juli 2012

PUTUSAN PENGADILAN YANG BATAL DEMI HUKUM

oleh
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf k menyatakan bahwa setiap putusan pemidanaan haruslah memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Tidak dipenuhinya ketentuan demikian, maka menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Istilah “batal demi hukum” dalam teori hukum diartikan sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak mempunyai nilai apapun secara hukum (legally null and void), sehingga putusan demikian dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi. Bagaimana mau mengeksekusi kalau putusan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai nilai hukum apapun juga?

Norma Pasal 197 KUHAP belakangan ini menjadi kontroversi setelah mencuatnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 atas terdakwa Parlin Riduansyah, pengusaha asal Banjarmasin, dan Theddy Tengko, Bupati Kepulauan Aru. Keduanya, dalam perkara yang berbeda, dibebaskan oleh pengadilan negeri. Namun karena Jaksa mohon kasasi, MA menjatuhan pidana. Tetapi, putusan kasasi MA tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sahkah putusan MA tersebut, dan dapatkan Jaksa mengeksekusinya? Hakim Agung Djoko Sarwoko mengatakan putusan tersebut tetap sah dan tetap dapat dieksekusi. Alasannya, ketentuan itu hanya berlaku bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak berlaku bagi MA. Ketentuan Pasal 197 itu berada dalam Bab XVI KUHAP yang mengatur pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan mahkamah agung. Putusan MA, menurutnya, adalah putusan akhir yang langsung dapat dieksekusi walapun tanpa mencantumkan perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Lagipula, tambahnya, sudah jamak putusan MA tidak mencantumkan ketentuan tersebut, namun eksekusi tetap dilaksanakan.

Saya beda pendapat dengan Djoko Sarwoko. Bab XVI KUHAP itu judulnya “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan”, yang otomatis berlaku pada semua tingkatan peradilan. Memang pemeriksaan di tingkat PN, PT dan MA berbeda sesuai kewenangannya, namun format putusan pengadilan yang bersifat pemidanaan pada tetaplah sama. Ketentuan Pasal 197 KUHAP harus dibaca secara utuh dan sistematik mulai dari Pasal 191 yang berisi bahwa putusan pembebasan dan pemidanaan harus diucapkan dalam sidang terbuka, putusan harus ditandatangani oleh semua majelis dan panitera, yang semuanya berlaku pada semua tingkatan peradilan. Pasal 197 ayat (1) itupun bunyinya “surat putusan pemidanaan” yang bersifat umum, tidak hanya berlaku bagi PN dan PT.Dalam KUHAP malah tidak ada format Putusan Pemidanaan yang khusus berlaku bagi Mahkamah Agung.

Sementara Indriarto Seno Adjie berpendapat, putusan MA yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tetap sah dan dapat dieksekusi karena hal itu hanya kesalahan administratif belaka. Seno Adjie mungkin lupa membaca ketentuan ayat (2) bahwa putusan yang tak mencantumkan hal itu adalah batal demi hukum. Keslahan administrative yang tidak menyebabkan putusan batal demi hukum, seperti dikemukakan dalam penjelasan pasal itu, hanya berlaku bagi Pasal 197 ayat (1) huruf a, e ,f dan h, yang karena kekhilafan atau kekeliruan dalam pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Digunakannya istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang mungkin menimbulkan salah paham. Trimoelja D Soerjadi dalam Kompas (30/5/2012) mengatakan semua putusan telah mempunyai kekuatan eksekutorial jika telah mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pendapat Trimoleya ini tidak benar. Irah-irah demikian hanyalah salah satu syarat sahnya putusan pengadilan, bukan berarti apapun bunyi putusan pengadilan harus dilaksanakan kalau sudah dicantumkan irah-irah itu dalam putusan. Trimoelja mengatakan kewenangan menahan atau tidak menahan itu merupakan kewenangan dikresioner. “Jadi tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka atau terdakwa ditahan” dengan mengaitkannya dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP.

Trimoelja lupa, kewenangan diskreoner menahan atau tidak menahan terkait dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP adalah dalam konteks kewenangan hakim melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Sementara keharusan mencantumkan agar “terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 KUHAP, bukan lagi berada dalam tahap pemeriksaan, namun dalam putusan pemidanaan. Kalau penahanan dikaitkan dengan kepentingan pemeriksaan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) KUHAP memang tidak logis, seperti kata Trimoelja, ada perintah penahanan dalam putusan karena pemeriksaan sudah selesai. Namun maksud perintah “ditahan atau tetap dalam tahanan itu” dalam putusan sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, tidak ada kaitannya dengan penahanan untuk pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) yang dijadikan titik tolak argument Trimoelja.

Berbeda dengan Trimoelja, saya memahami istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) adalah lain samasekali maknanya dengan penahanan dalam Pasal 20-23 KUHAP, yakni penahanan dalam konteks penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara, yang ada batas waktunya. Sebab jika batas waktu penahahan sudah habis, dan terdakwa sudah dibebaskan dari tahanan, maka perintah “penahanan” sebagaimana diatur dalam Pasal 197 dengan sendirinya menjadi melawan hukum. Maka perintah “penahanan” itu tidak bisa diartikan lain kecuali perintah agar terdakwa yang dijatuhi pidana “ditahan” atau "dieksekusi" untuk menjalani pidana penjara, sesuai bunyi putusan pemidanaan.

Kalau saya memahami bunyi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP seperti di atas, maka dapat dimengerti jika keharusan perintah menahan tidak dicantumkan, maka putusan itu batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi. Tanpa ada perintah untuk memenjarakan terdakwa yang telah dipidana itu, maka atas dasar apakah Jaksa sebagai eksekutor melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 KUHAP?. Itu sama halnya jika dalam putusan tidak dicantumkan identitas terdakwa seperti nama, alamat, kewarganegaraan, pekerjaan dan seterusnya. Siapa yang mau dieksekusi oleh jaksa?*