Muh. Tabrani Mutalib SH[1]
Abstract
Indonesia is one country in the world to deploy an autonomous specialized in the distribution of power Between central government and the decentralization policy area. special autonomy is applied in areas were given special autonomy That is not symmetrical with decentralization in other autonomous regions to organize and manage the interests of community at its own initiative based on the aspirations and basic rights of the area. Often in practice and have a special autonomy law That rule of law are different from other autonomous regions. So are the rules on filling the post of regional head / vice head of region. how the attraction Between the two. This paper discusses the relationship Between special autonomy to the charging position.
Key words: autonomy, filling the position
Key words: autonomy, filling the position
A.
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen Pasal 1 ayat (1) telah
jelas dan sangat tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Oleh sebab itu, Negara Indonesia tidak terdiri
atas suatu daerah atau beberapa daerah yang berstatus Negara bagian (deelstaat)
dengan Undang-Undang Dasar sendiri.akan tetapi merupakan Negara kesatuan yang
di desentralisasi. Wilayah Negara kesatuan yang didesentralisasi terdiri atas
daerah-daerah yang tidak diberi suatu pouvoirconstituant
(kekuasaan membuat Undang-Undang dasar) sendiri seperti yang diberi kepada
Pemerintah suatu Negara Bagian, rumah tangga daerah-daerah itu tidak diatur
oleh pusat tetapi oleh Pemerintah daerah-daerah tersebut. Kekuasaan ini disebut
kekuasaan (hak) otonomi.[1]merupakan pilihan yang paling rasional bagi bangsa yang
sangat majemuk ini. Tetapi dalam implementasi dan operasionalisasinya tidak
berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan, dan otonomi yang di berikan oleh
Pamerintah pusat kepada Pemerintah daerah terkesan setengah hati karena hampir
seluruh kewenangan daerah otonom masih di intervensi oleh pemerintah pusat (sentralisasi)
dengan menggunakan pendekatan keamanan.
Hal itu memicu ketidakadilan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi seperti itu berlangsung lama
sehingga menyebabkan munculnya pergolakan di masyarakat yang ditampilkan
dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis di
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.untuk meredam hal itu serta guna mempercepat pembangunan, memperkecil
kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, mengakomodir kekhasan budaya dan
adat istiadat serta mewujudkan kesejahteraan umum yang merupakan cita-cita dari
Bangsa Indonesia, maka pemerintah pusat mengambil langkah-langkah affirmatif
dengan memberikan kebijakan otonomi
khusus kepada beberapa daerah antara
lain Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta, Papua dan DKI Jakarta.
Latar belakang diberikannya otonomi
khusus kepada daerah-daerah di atas berbeda-beda sesuai aspirasi lokal dan
kebutuhan masing-masing daerah.Aceh dan
Papua karena terjadinya konflik di dua daerah tersebut, dimana
daerah-daerah itu sama-sama terdiskriminasi dan diperlakukan secara tidak adil
baik dari segi Politik dan Ekonomi oleh
pemerintah pusat. Yogyakarta karena alasan kesejarahan dan
asal-usul daerah tersebut sebelum kemerdekaan RI. Dan terakhir DKI Jakarta karena Jakarta memiliki
fungsi, peran serta kedudukan sebagai
Ibukota Negara .
Namun, dari pemberian kewenangan khusus
terhadap DKI Jakarta, ada sebuah keganjilan yang menurut penulis harus
dikritisi lebih mendalam. Keganjilan yang dimaksud ialah atribusi kewenangan
mengenai cara pengisian jabatan Walikota dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 29
tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI yang
menyebutkan bahwa: “Walikota/Bupati diangkat
oleh Gubernur atas Pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Pegawai
Nageri sipil yang memenuhi Persyaratan” Sedangkan berdasarkan UUD 1945 Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18 ayat (4) dengan jelas menegaskan bahwa:
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
Provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis”.
Yang artinya menurut Penulis frasa
“dipilih secara demokratis” mengandung dua makna yakni yang pertama, Kepala
Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah sesuai tingkatannya (Direct Democracy).dan yang kedua, kepala
Daerah dipilih oleh DPRD didaerah masing-masing sebagai perpanjangan tangan
dari rakyat yang diserahi kewenangan dan legitimasi oleh rakyat melalui
Pemilihan (Indirect Democracy).
Dengan
demikian, timbul pertanyaan mendasar apakah kebijakan penerapan otonomi khusus
yang diberikan oleh Pemerintah pusat kepada daerah Provinsi DKI Jakarta yang
menyangkut tentang cara pengisian jabatan kepala Daerah (Walikota/Wakil
Walikota) telah sesuai dengan amanat konstitusi (UUD) sebagai Norma hukum
tertinggi di Republik Indonesia?
Berdasarkan uraian
dalam latar belakang di atas, maka dapat di indentifikasi rumusan masalah
sebagai berikut, bahwa Apakah pengisian jabatan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi
DKI Jakarta telah sesuai dengan sistem pengisian jabatan Kepala Daerah
berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan kedua, Apakah dalil
“kekhususan” DKI Jakarta dapat memiliki
aturan hukum yang berbeda tentang pengisian jabatan Walikota/Wakil Walikota
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945?
B. Tinjauan Pustaka
1. Perkembangan pengisian jabatan
kepala daerah di Indonesia setelah kemerdekaan
Berikut ini
adalah perkembangan Pengisian Jabatan Kepala Daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia setelah masa kemerdekaan:
a.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
adalah untuk menarik kekuasaan eksekutif dari tangan Komite Nasional Indonesia
daerah (KNID).[2] Penarikan disebabkan,
antara adanya dualisme pemerintahan di daerah:
di satu pihak memegang kekuasaan sipil sesuai dengan kedudukanya sebagai
pembantu pemerintah, dipihak lain Pangrehpraja dan polisi menjalankan tugas
sebagai pegawai Republik Indonesia. Oleh sebab itu, KNID perlu dijelmakan
menjadi Badan Perwakilan Rakyat untuk sementara, yakni sampai terbentuknya
Badan perwakilan Rakyat berdasarkan hasil pemilihan umum baik ditingkat
Keresidenan, Kota, dan Kabupaten.
Dengan
demikian, UU No.1 Tahun 1945 menhidupkan kembali pemerintahan daerah otonom
yang terhapus selama pendudukan jepang.[3]Dilihat
dari muatannya UU No. 1 Tahun 1945 menganut asas otonomi formal.Kepala Daerah,
disamping berkedudukan sebagai organ daerah otonom, berkedudukan pula sebagai
alat pusat di daerah; karenanya tidak dipilih oleh KNID melainkan oleh
pemerintahan pusat.
b.
Undang-Undang 22 tahun 1948
Berbeda
dengan Undang-Undang sebelumnya UU No. 22 Tahun 1948 menentukan satu macam
satuan pemerintahan di daerah, yaitu satuan pemerintahan daerah otonom. Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang ini menetapkan daerah tersusun dalam tingkatan yaitu
Provinsi, Kabupaten (kota besar) dan Desa (kota kecil). Sedangkan pada ayat (2)
disebutkan daerah otonom lain yaitu ”Daerah Istimewa” yakni, daerah yang
mempunyai hak-hak asal-usul sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan.[4]UU
ini menganut asas otonomi materiil dan formal sekaligus dan pemerintah daerah
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.Menurut
Pasal 2 ayat (3) UU ini, kepala daerah menjabat ketua dan anggota Dewan
Pemerintah Daerah.Pemerintahan harus dijalankan secara kolegial oleh DPRD,
Dewan pemerintah Daerah dan Kepala Daerah tidak merupakan satuan operator
tersendiri dalam struktur pemerintahan di daerah[5]
(karena dia tercakup dalam struktur DPD itu). Kepala daerah diangkat oleh
Presiden untuk tingkat Provinsi, oleh Menteri dalam negeri untuk Kabupaten
(kota besar), oleh Gubernur untuk tingkat desa dari minimal 2 calon dan
maksimal 4 calon yang di usulkan oleh DPRD masing-masing.
c.
Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Sebagai
UU yang berinduk pada UUDS 1950 maka UU No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang
ditetapkan UUD induknya yakni ”otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan
dalam asas otonomi yang nyata. menurut Pasal 23 dari UU No. 1 tahun 1957 bahwa
kepala Daerah tidak lagi diangkat oleh Pemerintah pusat melainkan dipilih
sesuai dengan ketentuan UU. Tetapi sebelum UU tentang Pemilihan itu ada, maka
kepala Daerah dipilih oleh DPRD (Pasal 24).Artinya, Pemilihan oleh DPRD hanya
bersifat sementara.Dengan kedudukan seperti itu, kepala daerah adalah alat
daerah otonom bukan alat pusat di daerah.Hal itu semata-mata merupakan
perwujudan dari keinginan UU No. 1 Tahun 1957 untuk menghilangkan sifat
dualisme sekaligus memberi bobot kehidupan demokrasi.Untuk pengangkatan Kepala
daerah istimewa diatur berbeda. Menurut Pasal 25 UU No. 1 tahun 1957, kepala
daerah istimewa,daerah tingkat I, diangkat oleh Presiden, daerah tingkat II dan
III diangkat oleh Menteri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD. Calon
tersebut diambil dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, sejak
sebelum ada Republik Indonesia. Tetapi kepala Daerah Istimewa merupakan organ daerah otonom, bukan alat
Pusat didaerahnya.[6]
d.
Penpres No. 6 Tahun 1959
Penpres
No. 6 Tahun 1959 menghilangkan sifat dualisme dengan menempatkan kembali kepala
daerah sebagai alat pusat, di samping alat daerah otonom (Pasal 14).Kepala
daerah merupakan unsur Pemerintah daerah yang berdiri sendiri di samping DPRD
(Pasal 1).Kepala Daerah Tingkat I oleh Presiden dan Kepala Daerah tingkat II
diangkat oleh menteri dalam negeri atas persetujuan Presiden.dengan demikian,
ciri umum Desentralisasi, yakni kewenangan Daerah untuk memilih sendiri
penangung jawab pemerintahnya, tidak ada lagi.
e.
Undang-Undang No. 18 tahun 1965
Meskipun
ada beberapa perubahan, tetapi pada dasarnya watak “sentralistik” yang ada di
dalam Penpres No. 6 Tahun 1959 tetap sangat menonjol dalam UU No. 18 Tahun
1965, kedudukan kepala daerah sebagai alat Pusat, sebagai pimpinan eksekutif di
daerah, serta cara pengangkatannya, pengaturannya tetap sama dengan di dalam
Penpres. Akan tetapi, ada beberapa perubahan antara lain Pasal 8 menjelaskan
bahwa jika pada peraturan sebelumnya kepala daerah karena jabatannya, adalah
ketua DPRD, maka menurut UU ini, kepala daerah tidak lagi ketua DPRD, tetapi
Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas bertanggung jawab kepada kepala Daerah.
f.
Undang-Undang No.5 Tahun 1974
Mengenai
Pengisian jabatan kepala daerah dalam UU ini adalah bahwa kepala daerah tingkat
I diangkat oleh Presiden dan kepala daerah tingkat II diangkat oleh Menteri
dalam negeri dari sekurang-kurangnya dua calon yang diajukan berdasarkan
pencalonan dan hasil pemilihan DPRD masing-masing.Sedangkan wakil kepala daerah
diajukan oleh Gubernur atau Bupati kepada pusat (Presiden, Mendagri) setelah
memperoleh persetujuan dari DPRD, tanpa melalui pemilihan.[7]
g.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
pengisian
jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui
pemilihan secara bersama.[8]Lebih
lanjut, setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada salah satu
pasangan calon Kepala / wakil kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh
DPRD.Jadi dalam UU ini kepala daerah dipilih secara perwakilan (Indirect Democracy) bukan memalui
pemeilihan Umum.Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara langsung, umun,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
h.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Berdasarkan
perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000 telah merubah secara keseluruhan
bentuk pemerintahan Daerah di Indonesia. Maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu
diganti.[9]Prinsip/asas
otonomi daerah dalam UU ini adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.Kepala
Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis.
Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat
bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak
memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang ini dilakukan oleh
rakyat secara langsung.[10]
2. Asas
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berbicara
landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan dijumpai
tiga asas pokok yag selama ini sering digunakan banyak Negara yakni asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan (medebewind).
Berikut Asas pokok yang telah berkembang di Indonesia dewasa ini:
a. Asas Desentralisasi
Hans Kelsen[11]
menjelaskan secara gamblang bahwa Desentralisasi terdiri dari norma-norma yang
memiliki bidang validitas teritorial (wilayah keabsahan) yang berbeda, sejumlah
normanya berlaku untuk seluruh teritorial, kalau tidak teritorial ini tidak
akan merupakan teritorial dar satu tatanan hukum, sedangkan sejumlah norma lain
yang berlaku hanya untuk bagian-bagian teritorial yang berbeda. Norma yang
berlaku bagi seluruh teritorial kita usulkan disebut norma pusat, sedangkan
norma yang berlaku sebagian teritorial disebut norma daerah.
b. Asas
Dekonsentrasi
menurut Laica Marzuki[12]
dekonsentrasi merupakan ambtelijkedecentralisastie
atau delegativevanbevoegdheid, yakni
pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi
bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pemerintahan Pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi
bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintahan Pusat. Jadi, dekonsentrasi
diartikan sebagai penyebaran atau pemancaran kewenangan pusat kepada petugasnya
yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat.
c. Asas
Medebewind
Mahfud MD
berpendapat bahwa Asas Medebewind
adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintah pusat di daerah, dalam arti bahwa organisasi pemerintah setempat
(daerah) memperoleh tugas dan kewajiban untuk membantu melaksanakan
urusan-urusan pemerintah pusat.[13]
3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto[14],
memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
- Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
- Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula(lex superior derogat lex inferior);
- Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
- Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
- Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
4. Amandemen Kedua UUD 1945
Mengenai Pemerintahan Daerah
a.
Gagasan tentang
Pembagian Daerah Otonom di Indonesia (Pasal 18 ayat 1 UUD 1945)
Mengenai pembagian
daerah otonomi dalam perubahan ke dua UUD 1945, pertama kali diusulkan oleh
Asnawi Latief F-PDU pada rapat PAH III BP MPR ke- 6. Tanggal 10 desember 1999
yang di pimpin oleh Jakob Tobing dengan agenda penjelasan dan tanggapan
fraksi-fraksi tentang usulan perubahan pasal 18 UUD. Pada rapat itu, Asnawi
latief mengemukakan perlu adanya pemikiran baru yang harus dipikirkan tentang
pembagian wilayah otonomi menjadi propinsi, kabupaten, dan seterusnya.[15]Dalam
rapat itu Asnawi Latif menyampaikan materi yang ada bahwa NKRI dibagi atas
daerah-daerah, lalu yang kedua mengenai sifat otonom dan sifat administrasi
jadi, bukan daerah otonom dan daerah adminiustrasi namun sifatnya.[16]Sutjipno
dari F-PDIP mengemukakan sebagai berikut “yang dibagi bukan daerahnya tapi
kewenangan atau authority yang
termasuk dalam otonom dan medebewind.Pendapat
sutjiipno tersebut direspon positif oleh Jakob Tobing selaku ketua rapat.[17]Akhirnya,
setelah melalui perdebatan panjang pasal 18 ayat 1 disepakati bersama dan
disahkan pada sidang paripurna tanggal 18 agustus 2000.
b. Gagasan tentang Pengisian Jabatan
Kepala Daerah (Pasal 18 ayat 4 UUD 1945)
Pembahasan mengenai
pengisian jabatan kepala daerah pertama kali diusulkan oleh Ali Marwan Hanan
dari Fraksi PPP pada Rapat PAH I BP MPR ke-36, tanggal 29 Mei 2000 yang
mengatakan sebagai berikut: “Presiden itu dipilih secara langsung, maka pada
pemerintahan daerah pun Gubernur dan Bupati, dan Walikota itu dipilih langsung
oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nanti akan kita atur.”[18]
Pembahasan selanjutnya
berkaitan dengan Pasal 18 ayat (4), Jakob Tobing mengemukakan
alternatif-alternatif yang berkaitan dengan pemilihan Kepala daerah antara
lain, alternatif 1: Pemilihan secara langsung atau cara lain yang dianggap
demokratis (alternatif 2).[19]Menanggapi
usul tersebut, Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP mengatakan bahwa ide pemilihan
ini dimasukkan didalam Istilah Demokratis sehingga demokratis disini memang
bisa mengandung Langsung, bisa mengandung tidak langsung, tetapi tidak usah
secara eksplisit.[20]
Hasil-hasil tim perumus tentang materi pemerintahan Daerah termasuk Pasal 18
ayat (4) dapat disepakati dalam Rapat Komisi A MPR ke-6 (Lanjutan), 14 Agustus
2000, yang dipimpin oleh Antonius Rahail selanjutnya rumusan tentang
pemerintahan Daerah yang disepakati di komisi A dilaporkan ke rapat Paripurna
sidang Tahunan MPR. pada Rapat Paripurna ke-7, 15 Agustus 2000.
5.
Konsep Otonomi Khusus
Mengenai Otonomi
khusus, Laurence Sullivan[21] pernah menyatakan bahwa Otonomi khusus adalah
sebuah langkah afirmatif yang dilakukan oleh Pemerintah pusat guna meningkatkan
pembangunan dan kesetaraan diantara
daerah satu dengan daerah lainya, serta melindungi dan menjamin hak-hak
golongan minoritas supaya terbebas dari perlakuan yang bersifat diskriminasi.
Karena hampir semua negara di dunia memiliki satu atau lebih kelompok minoritas
dalam wilayah nasional mereka dan kelompok-kelompok ini memiliki identitas
etnik, bahasa, atau agama yang berbeda dengan identitas penduduk mayoritas.[22]
a. Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi asimetris adalah kebijakan
desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus
tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.atau
dapat juga dikatakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah
tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak‐hak dasar daerah tersebut.[23]
Konsep
desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang Asymmetric
Federation atau Federal
asimetris yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton[24]
pada tahun 1965 Menurutnya, terdapat dua jenis asymmetric federation,
yakni de factoasymmetry dan de jure asymmetry.
1).
De
factoasymmetry merujuk pada
adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya
dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan
yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan;
2).
De
jure asymmetry merupakan
produk Konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu.
Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau
pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu
saja.
b. Perbedaan Daerah Khusus dan Daerah Istimewa di
Indonesia
Dalam putusan
perkara No. 81/PUU-VIII/2010.[25]
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Hukumnya menilai penetapan nama suatu
daerah menjadi daerah istimewa atau daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda. Suatu
daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut
terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan suatu daerah ditetapkan
sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan
kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah
diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.[26]Jadi,
Kalau Daerah khusus menitikberatkan pada spesifikasi
kawasan, sedangkan daerah Istimewa berdasarkan pada faktor sejarah dan hak
asal-usul.Dengan memperhatikan dua kriteria tersebut, menurut
Mahkamah hak asal usul dan sejarah adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin
dan tidak dapat diabaikan dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan
suatu daerah dalam Undang-Undang.Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan yang
didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata yang
mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah bersifat fleksibel
sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang
bersangkutan.[27]
C. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk
jenis penelitian dasar (basic research) dan termasuk dalam penelitian
jenis deskriptif.Penelitian dasar yang dimaksud adalah penelitian yang berupa
penegasan kembali atau pembuktian dari suatu pernyataan atau teori yang sudah
ada sehingga berguna untuk memperkuat pernyataan atau teori yang semula.[28]Penelitian
ini dilakukan dengan melalui studi pustaka atau library research.beberapa
pendekatan, dengan pendekatan tersebut
peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang
sedang diteliti untuk dicari jawabannya. Maka Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (Statute approach).Pendekatan Konseptual (Conceptual approach), Pendekatan perbandingan (Comparative approach).analisis
atau penafsiran (interpretation) hukum yang dipakai seperti penafsiran
otentik (autentik),
penafsiran
menurut tata bahasa (gramatikal), penafsiran berdasarkan sejarah
perundang-undangan (wethistoris) atau berdasarkan sejarah hukum (rechthistoris),
penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis.[29]
D.
Pembahasan
Berdasarkan
identifikasi masalah di atas, berikut ini analisis / penafsiran penulis:
Pertama,
secara gramatikal bahwa Pengisian jabatan Walikota dan Wakil Walikota di DKI
Jakarta menurut UU No. 29 Tahun 2007 Pasal 19 ayat (2), sebagaimana dijelaskan
di atas, pada rumusan Pasal 19 ayat (2) dan (3) secara garis besar menyebutkan
Walikota diangkatoleh Gubernur atas pertimbangan DPRD dari pegawai negeri sipil
dan dapat diberhentikan oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kata diangkat menurut Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia
artinya dilantik,[30]
yang menunjukan bahwa cara pengisian jabatan tersebut ditetapkan atau dilantik
oleh otoritas yang lebih tinggi dalam hal ini Gubernur. kata diangkat yang
artinya dilantik sangat berbeda sekali maknanya dengan frasa dipilih secara
demokratis yang menurut maksud (inten)
dari perumus perubahan kedua UUD 1945, yang artinya dapat dipilih langsung atau
dipilih oleh DPRD. Dan penelusuran penulis dalam risalah-risalah rapat panitia Ad Hoc I BP MPR tentang proses perubahan
kedua UUD 1945, penulis tidak menemukan satu buktipun yang menunjukan bahwa
para perumus alpa atau sengaja tidak
membahas mengenai pengangkatan atau pelantikan kepala daerah, yang dibahas
hanya dipilih langsung dan oleh DPRD.
Oleh karena itu, Pasal 19 ayat (2) UU No. 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesiabertentangan ketentuan Pasal 18
ayat (4) UUD 1945.
Kedua,
analisis atau penafsiran secara otentik (autentik),
menurut Maria Farida Indrati yang mengutip pendapat Hans Kelsen bahwa Hukum itu
sah (valid) apabila dibuat oleh
otoritas yang berwenang membuatnya dan bersumber serta berdasar pada norma yang
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh Norma yang
lebih tinggi (Superior), dan hukum
itu berjenjang-jenjang membentuk suatu Hierarkhi.[31]Sejalan
dengan itu, sehingga konsep otonomi daerah dalam peraturan perundang-undangan
tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks pengertian ketatanegaraan
Indonesia menurut UUD 1945. Apabila
dilepaskan dengan konteks tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai
pemahamannya. Oleh sebab itu, Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2007[32] yang menyebutkan bahwa Walikota/Bupati
diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan (Inferior) merupakan inkonsistensi penafsiran dari Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara
demokratis.” (Superior). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
asas/prinsip lex Superior derogate lex
Inferior dalam pembentukannya.
Ketiga, analisis atau
penafsiran berdasarkan sejarah hukum atau sejarah perundang-undangan (rechthistoris/
wethistoris), bahwa
pengisian jabatan kepala daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
tentang pemerintahan daerah yang pernah berlaku sebagaimana disebutkan dalam
Bab II Tinjauan Pustaka diatas, lebih banyak diangkat daripada dipilih. Hal ini
juga tidak terlepas dari efek refleksi norma dasar (konstitusi) yang
membawahinya pada masa rezim yang berbeda. Dari 8 (delapan) Peraturan
perundang-undangan yang pernah berlaku, ada 5 (lima) UU tentang Pemda yang cara
pengisian jabatan kepala daerahnya diangkat oleh Presiden / Pemerintah dan 2
(dua) UU Pemerintahan daerah yang pengisian jabatan kepala daerahnya dipilih
oleh DPRD yaitu UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah dan
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan hanya 1 (satu) UU yaitu
UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mengatur Kepala daerah
menduduki jabatannya dengan cara dipilih langsung oleh rakyat.
Kehadiran
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda membawa konsekuensi yuridis berbagai
ketentuan dalam UU No. 34 tahun 1999[33].
Konsekuensi tersebut bukan hanya dari penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI
Jakarta sebagai daerah otonom, berkedudukan sebagai Ibukota Negara Republik
Indonesia, sebagai tempat perwakilan Negara asing dan lembaga Internasional
lainnya, melainkan karakteristik permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan
DKI Jakarta sehingga diubah dengan UU No. 29 Tahun 2007[34]
karena dirasa tidak sesuai dengan dengan perkembangan keadaan, dan tuntutan
penyelenggaraan Pemerintah.[35]Oleh
karena itu, Pengisian jabatan kepala daerah (Walikota/Wakil Walikota)
seharusnya sejalan dengan Pengisian jabatan kepala daerah menurut UU No. 32
tahun 2004 Tentang Pemda yaitu dengan
cara dipilih langsung oleh rakyat sebab hal tersebut merupakan konsekuensi yuridis dari UU No. 32
tahun 2004 Tentang Pemda.
Keempat, analisis secara sosiologis, bahwa kondisi penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa
berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010 dan pada siang hari, angka tersebut akan
bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit
seperti Bekasi,
Tangerang,
Bogor,
dan Depok.
Kota/Kabupaten yang paling padat penduduknya adalah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan Seribu adalah kabupaten dengan paling sedikit penduduk,
yaitu 19.545 jiwa. Wilayah metropolitan Jakarta (JABODETABEK)
yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa dengan budaya mestizo (Campuran) merupakan
metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Disamping itu,
penduduk di DKI Jakarta memiliki standar pendidikan relatif tinggi dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Indonesia, sehingga membutuhkan praktik demokrasi
yang sama dengan daerah lain dan Pemberlakuan otonomi pada tingkatan daerah di
bawah provinsi adalah salah satu wujudnya.[36]Praktik
demokrasi yang dimaksud adalah bahwa Kepala Daerah pada tingkat Kota/Kabupaten
seharusnya dipilih agar dapat merepresentasikan kompleksitasnya masyarakat DKI
Jakarta.Hal itu juga berkaitan erat dengan hak politik setiap individu
masyarakat di Kota/ Kabupaten di DKI Jakarta. Karena UUD 1945 memberikan
jaminan terhadap hak politik warga Negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D
ayat (3) menegaskan “setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.”[37]Oleh
karena itu, Apabila hal tersebut tidak diwujudkan maka merupakan suatu
pelanggaran terhadap Hak Konstitusional Warga Negara untuk berkesempatan
menduduki jabatan-jabatan publik (pemerintahan) termasuk juga jabatan
Walikota/Wakil Walikota di DKI Jakarta.Sehingga pelaksanaan pemilihan kepala
Daerah pada tingkat Kota maupun Kabupaten merupakan komponen penting dan harus
dijaga keberadaannya dalam membangun Masyarakat, Bangsa, Negara menuju pada
tatanan pemerintahan yang lebih Demokratis.
Selanjutnya
mengenai identifikasi masalah kedua penulis membahasnya sebagai berikut. Bahwa
Penyerahan dan pelimpahan kewenangan khusus sebagaimana diatur dalam beberapa
Undang-undang Otonomi Khusus (OTSUS) memiliki karakteristik dan dasar/alasan
kekhususan yang berbeda satu sama lain. Untuk
lebih jelasnyalihat Tabel berikut ini.
Dalil
kekhususan
|
DKI Jakarta
|
Aceh
|
Papua
|
Yogyakarta
|
1.
|
Provinsi DKI Jakarta berkedudukan,
berfungsi dan berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
|
Pembagian urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan Syari’at Islam antara pemerintahan aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
|
Adanya Majelis Rakyat papua (MRP)
sebagai representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua.dan juga
menyeleksi calon Gubernur/Wakil Gubernur harus orang asli Papua
|
pengisian
posisi kepala dan wakil kepala eksekutif pada tingkat Provinsi yang hanya
bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan.
|
2.
|
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi
dalam Kota Administrasi dan Kabupaten Administrasi.
|
Implementasi formal penegakan syari’at
Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada
di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah
sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
|
Lambang Daerah
adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri
orang Papua
dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan
sebagai simbol
kedaulatan.
|
kewenangan
di bidang pertanahan atau Hak Partikelir (yang dikenal dengan sultan grond)
dan juga budaya.
|
3.
|
Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta
berjumlah paling banyak 125% dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah
penduduk DKI Jakarta
|
Mahkamah Syari’ah di Provinsi, Kabupaten
dan kota selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
agama.
|
Pelaksanaan kewenangan khusus oleh
Perdasus dan Perdasi.
|
|
4.
|
Gubernur mempunyai hak protokoler,
termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan, menghadiri sidang
kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
|
Terdapat wali nanggroe sebagai lembaga
adat dan pelestarian budaya.
|
partisipasi rakyat sebesar-besarnya
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan.
|
|
5.
|
Dana dalam rangka pelaksanaan
kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama
antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
|
Susunan daerah dibawah kecamatan
disebut dengan nama mukim dan Gambong.
|
Adanya Distrik (perbedaan nomenklatur)
yang pada dasarnya kecamatan di provinsi lain.
|
|
Jumlah
|
5
|
5
|
5
|
2
|
Dari
data di atas, menggambarkan bahwa DKI Jakarta dan Aceh serta Papua memiliki kewenangan khusus lebih banyak masing-masing
5 (lima) kewenangan sedangkan Yogyakarta hanya 2 (dua) kewenangan khusus. Otonomi khusus buat Aceh lebih merupakan
pengakuan & pengukuhan oleh Pemerintah Pusat terhadap penegakan nilai-nilai
keislaman & budaya orang Aceh. Hal tersebut tidak jauh berbeda dgn otonomi
khusus yg diberikan di Papua dimana juga adanya pengakuan oleh Pemerintah
terhadap hak-hak & peran serta orang asli Papua beserta kebudayaannya guna
meningkatkan harga diri, martabat dan kesejahteraan orang Papua itu sendiri.
Selain itu jg, bg Yogyakarta pertimbangannya adalah kesejarahan & asal usul
daerah Yogyakarta, krn Yogyakarta merupakan suatu kerajaan (kesultanan)
berdaulat yg menggabungkan diri dgn NKRI sehingga tetap diakui &
dipertahankanlah Monarki Yogyakarta dimana posisi kepala & wakil kepala
eksekutif pd tingkat Provinsi yang hanya bisa ditempati oleh Sultan dan
Pakualam.Dari data diatas, menunjukan bahwa pemberian otonomi khusus oleh
pemerintah pusat kepada daerah-daerah tsb sesungguhnya lebih menekankan pd
proses demokratisasi di tingkat lokal bukan malah semakin tersentralisasinya
penyelenggaraan pemerintahan daerah. bagi DKI Jakarta sendiri Pertimbangannya
ialah bahwa Jakarta berkedudukan sbg Ibukota Negara sehingga perlu diberikan
kekhususan tugas,hak, kewajiban, & tanggung jwb dlm penyelengaraan
pemerintahan Daerah. alasan itu berdasarkan Penafsiran Mahkamah Konstitusi merupakan
kenyataan & kebutuhan politik yg karena posisi keadaannya mengharuskan suatu daerah
diberikan status khusus yg tdk bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Analisis atau penafsiran fungsional bahwa Berdasarkan Pertimbangan inilah
maka wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi kedalam Kota/Kabupaten
Administrasi.& Sebagai konsekuensinya Walikota & Wakil Walikota tdk
dipilih oleh Konstituen lokal (pemilih) ttp diangkat oleh Gubernur ats
Pertimbangan DPRD. Alasan yg mendasarinya tidak lain demi efisiensi &
efektifnya penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta sbg Ibukota Negara padahal,
disatu sisi Pada penjelasan umum paragraph ke-7 UU No. 29 Tahun 2007
menjelaskan bhw dlm menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta
yg karena kedudukannya sbg Ibukota Negara mk Gubernur DKI Jakarta dibantu oleh
4 (empat) orang Deputi yg diberi kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung
jawab Oleh karena itu, Walikota/Wakil Walikota tdk berperan menjalankan fungsi
khusus pemerintahan DKI Jakarta, sehingga pengangkatan jabatan Walikota/Wakil
Walikota menurut UU No. 29 tahun 2007 bkn merupakan pilihan kebijakan hukum yg
eklektis dlm sebuah Negara Demokratis spt Indonesia.
Lebih lanjut,
Mahkamah konstitusi menilai bahwa Kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan
pemilihan Gubernur yang berbeda dengan Provinsi lainnya adalah hanya mengenai
calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang harus orang asli Papua dan telah
mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan persyaratan dan mekanisme
lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia. karena seiring
dengan perubahan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dari pemilihan oleh
DPRD Provinsi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi
pula perubahan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua
dari pemilihan oleh DPRP menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan
demikian dapat dipahami pemilihan Gubernur oleh DPRP tidak termasuk kekhususan
Provinsi Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia.[38]
berdasarkan Tafsir Mahkamah Konstitusi tersebut bahwa dalam konteks
ketatanegaraan Indonesia, mekanisme pengisian posisi Kepala daerah bukan
merupakan kekhususan atau keistimewaan
yang melekat pada
daerah yang bersangkutan baik
karena hak asal-usul yang melekat pada
daerah yang telah diakui dan tetap hidup, maupun karena latar belakang
pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya kekhususan atau keistimewaan
daerah sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dalil yang
mengatakan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah ialah kekhususan dan
keistimewaan daerah merupakan kekeliruan penafsiran (Mistake interpretative).sebab
Kepala daerah yang dipilih oleh DPRP di daerah Papua saja oleh Mahkamah
Konstitusi dinilai tidak demokratis apalagi kepala daerahnya (Walikota/Wakil
Walikota) diangkat oleh Gubernur sebagaimana praktiknya di DKI Jakarta.
E. Penutup
1. Kesimpulan
a.
Kata
diangkat yang artinya dilantik, menunjukan bahwa cara
pengisian jabatan tersebut ditetapkan atau dilantik oleh otoritas yang lebih
tinggi dalam hal ini Gubernur. Kata diangkat
yang artinya dilantik sangat
berbeda sekali maknanya dengan frasa dipilihsecarademokratis
yang menurut maksud (inten) dari perumus perubahan kedua UUD 1945, yg
artinya dapat dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD. merupakan pelanggaran
terhadap asas/prinsip lex Superior derogate lex Inferior dalam
pembentukannya. Pengisian jabatan Kepala Daerah (Walikota/Wakil Walikota)
seharusnya sejalan dengan Pengisian jabatan kepala daerah menurut UU No. 32
tahun 2004 Tentang Pemda yaitu dengan cara dipilih langsung oleh rakyat.
Berdasarkan kondisi demografis DKI Jakarta membutuhkan praktik demokrasi yang
lebih kompleks sama daerah lain dan Pemberlakuan otonomi pada tingkatan daerah
di bawah provinsi adalah salah satu wujudnya.
b.
Bahwa
Walikota/Wakil Walikota tidak berperan menjalankan fungsi khusus pemerintahan
DKI Jakarta, sehingga pengangkatan jabatan Walikota/Wakil Walikota bukan
merupakan pilihan kebijakn hukum yang eklektis dalam sebuah Negara Demokratis
seperti Indonesia. dalil yang mengatakan mekanisme pengisian jabatan Kepala
daerah ialah kekhususan dan keistimewaan daerah merupakan kekeliruan penafsiran
hukum (Mistake interpretative). prinsip otonomi harus menjadi salah satu
sendi susunan pemerintahan DKI Jakarta yang demokratis agar ada jaminan
kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Karena otonomi
daerah merupakan pancaran diterapkanaya asas desentralisasi. maka pada
hakekatnya asas desentralisai inilah yang mendasari terwujudnya demokrasi.
2. Saran
Perlu segera dilakukannya perubahan (revisi) atau
diuji kesahihannya di Mahkamah Konstitusi (Judicial
Review) UU No. 29 tahun 2007 tentang pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia
terhadap UUD 1945 (konstitusi), terutama ketentuan-ketentuan mengenai pengisian
Walikota/Wakil Walikota Pasal 19 ayat (2),(3),(6),(7) dan (8) terhadap Pasal 18
ayat (1), (4), dan Pasal 18B ayat (1). sehingga kejelasan antara ketentuan yang
menyangkut otonomi khusus dengan ketentuan pengisian jabatan kepala daerah pada
tingkatannya masing-masing tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran.
Jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar
9.6 juta jiwa lebih dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang relatif lebih
tinggi dari daerah-daerah lain di Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa Provinsi
DKI Jakarta membutuhkan praktik demokrasi yang lebih kompleks sama dengan
daerah lain agar dapat lebih mengakomodir peran serta politik masyarakatnya
baik memilih dan dipilih dalam mengisi jabatan-jabatan publik didaerah tersebut
Daftar Pustaka
Adi, Riyanto, 2004. Metodologi
Penelitian Social Dan Hukum. Granit, Jakarta.
Badudu, J.S, 2008. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Indrati, Maria Farida, 2007. Ilmu Perundang-undangan I (jenis,fungsi, dan
materi muatan). Kanisius,Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2010. General
Theory of law and state. Nusa Media,
Bandung.
Lubis, M. Solly, 1983.Pergeseran
Garis Politik Dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah. Alumni,
Bandung.
Manan, Bagir, 1990.Hubungan
antara pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi menurut UUD 1945.
Padjadjaran, Bandung.
MD, Mahfud, 2009. Politik hukum
di Indonesia, edisi revisi.Rajawali pers, Jakarta.
Marzuki, Laica M, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″. Sekretariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1989. Peraturan Perundang-Undangan Dan Yurisprudensi. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Utrecht, E, 1983. Pengantar
Dalam Hukum Indonesia.penerbit sinar harapan, Jakarta.
Naskah Komprehensif perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, 2010.Latar belakang, Proses, dan pembahasan
1999-2002, Buku IV kekuasaan pemerintahan Negara jilid II, edisi
revisi.Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Putusan
Perkara Nomor 81/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Laurence Sullivan, “Hak-hak
Kelompok Minoritas Menurut Hukum Internasional dan Otsus”,
http://www.papuaweb.org/dlib/lap/sullivan/id/hak-minoritas.rtf, diakses
tanggal 10 januari 2011.
Artikel konsep otonomi khusus,
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/desentralisasi-asimetris-dandalam.html, diakses tanggal 23 September 2011.
Lihat Artikel, Jakarta Tidak Layak Dapat Otonomi Daerah,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=203341, tanggal akses 17 januari 2011.
[1] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: penerbit sinar harapan, 1983), Cetakan ke-10 disadur dan direvisi
oleh Moh. Saleh Djindang SH, hlm. 342
[2]Hal ini merupakan implikasi dari di keluarkannya
Maklumat No. X Tahun 1945, periksa lebih lanjut pada bagian “Dari organis ke
pluralistik” dalam bukunya Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia, edisi
revisi, (Jakarta: Rajawali pers, 2009). Hlm. 40-44.
[3] Bagir Manan, Hubungan
antara pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi menurut UUD 1945,
(Bandung: Padjadjaran, 1990), hlm. 219
[4] Mahfud MD, Politik…..op,cit.,hlm 108.
[5] M. Solly Lubis, Pergeseran
Garis Politik Dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah,
(Bandung:Alumni,1983), hlm 47.
[6] Mahfud MD, Politik…..loc,cit,..hlm 117.
[8] Lihat Pasal 34 ayat (1) UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, (LN no. 60 Tahun 1999)
[9] Lihat dalam konsideran menimbang huruf (c)
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (LN No. 125 Tahun
2004).
[10] Pasal 24 ayat (5), Ibid.,
(LN No. 125 Tahun 2004).
[11] Hans Kelsen, General
Theory of law and state,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan k-V, (Bandung: Nusa Media, 2010),
hlm. 431.
[12] Laica M . Marzuki,“Hakikat Desentralisasi Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, (Jakarta
: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI).
[13]Moh. Mahfud MD, Politik…loc,cit.
[14]Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-Undangan Dan
Yurisprudensi, Cet III,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7-11.
[15] Naskah Komprehensif perubahan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar belakang, Proses, dan pembahasan 1999-2002, Buku IV
kekuasaan pemerintahan Negara jilid II, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), Hlm. 1121
[16] Naskah Komprehensif,
Ibid,. Hlm. 1207
[17] Naskah Komprehensif,
Ibid,. Hlm. 1276
[18] Naskah Komprehensif,
Ibid,., hlm. 1182.
[19] Naskah Komprehensif, Ibid,.hlm. 1250
[20] Naskah Komprehensif, Ibid,.hlm. 1262
[21] Laurence Sullivan, “Hak-hak Kelompok Minoritas
Menurut Hukum Internasional dan Otsus”, http://www.papuaweb.org/dlib/lap/sullivan/id/hak-minoritas.rtf,
diakses tanggal 10 januari 2011.
[23]Artikel konsep otonomi khusus, http://www.fisip.ui.ac.id/papua/images/oziodownload/mansoben.pdf diakses tanggal 28 januari 2011.
[24]Tri Widodo,
Desentralisasi Asimetris
dan/dalam Negara Kesatuan,http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/desentralisasi-asimetris-dandalam.html, diakses tanggal 23 September 2011.
[25]Putusan Perkara Nomor
81/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945, diputus pada tanggal 2 maret
2011.
[28]Riyanto Adi, Metodologi Penelitian Social Dan Hukum,
(Jakarta Granit, 2004), Hal. 4.
[30] J.S. Badudu, Kamus
Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2008), hlm. 16.
[31] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan I (jenis,fungsi, dan materi muatan), cet.
Ke-9, (Yogyakarta:Kanisius,2007), hlm. 23.
[32]Undang-Undang No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN No. 93 tahun
2007).
[33] Undang-undang
No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. (LN No.Tahun 1999).
[34] Undang-Undang No. 29 tahun 2007 tentang pemerintahan provinsi daerah khusus ibukota
jakarta sebagai ibukota negara kesatuan Republik Indonesia (LN no. 93 Tahun
2007).
[35] Penjelasan umum paragraph ke-5 dan 6 UU No. 29 Tahun
2007 tentang pemerintahan provinsi
daerah khusus ibukota jakarta sebagai ibukota negara kesatuan Republik
Indonesia (TLN No. 4744). Hlm. 2.
[36]Lihat Artikel, Jakarta
Tidak Layak Dapat Otonomi Daerah,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=203341, tanggal akses 17 januari 2011.
[37]hasil Amandemen kedua Tahun 2000, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cetakan ke-sebelas, (Jakarta: Sekertariat
jenderal dan kepaniteraan Mahkamah
konstitusi RI, 2010), hlm47.
[1]Penulis
adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas khairun Ternate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar