Oleh
Muh. Tabrani Mutalib SH.
“otonomi daerah sebagai prinsip
berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat
sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan, tiap daerah mempunyai historis
dan sifat khusus yang berlainan daripada riwayat dan sifat daerah lain. Berhubung
dengan itu menurut pendapatnya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model”.( Soepomo)
Konsep otonomi khusus atau oleh pakar Politik
menyebutnya Desentralisasi asimetris (AsymmetricalDecentralization)
merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah tertentu
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar daerah tersebut.Atau juga sering
diartikan desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun
tidak harus seragam untuk semua wilayah Negara dengan mempertimbangkan
kekhususan masing-masing daerah. konsep otsus (otonomi khusus) secara hukum
(legal-formal) di akomodir dalam ketentuan UUD 1945 pasal 18 B ayat (1) dan
(2), dan Di Indonesia sendiri Konsep tersebut sebenarnya sudah mulai
dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi khusus seperti Papua
dan NAD, Jakarta dan Yogyakarta.latarbelakang diberikan otonomi khususkepada
daerah-daerah tertentu sesungguhnya tidak terlepas dari alasan Politis
Pemerintah pusat yang tujuan akhirnya untuk melindungi dan menjamin keutuhan
Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi yang
salah satu fungsinya sebagai lembaga penafsir final
konstitusi (the final interpreter of the
constitution) dalam Putusannya (No. 81/Puu-Vii/2010) menilai bahwa
penetapan nama suatu daerah menjadi daerah istmewa dan daerah khusus haruslah
dengan kriteria yang berbeda. Suatu daerah ditetapkansebagai daerah istimewa,
jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan
daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sedangkan
suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait
dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi dan keadaannya
mengharuskan suatu daerah diberikan
status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.Jadi putusan MK
tersebut memberikan kita penjelasan tentang ruang lingkup dan jenis otsus yang
ditetapkan melalui UU terkait.
BEBERAPA PERSOALAN TERKAIT OTODA MALUKU UTARA
Maluku Utara (North Moluccas) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
setelah reformasi dimekarkan menjadi sebuah provinsi terlepas dari daerah induk
atau sebelumnya tergabung dengan Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon.Daerah
ini sejak dulu atau sekitar abad ke-15 dikenal sebagai daerah penghasil
rempah-rempah yang sangat kaya. Hal itu di yakini oleh masyarakat Malut sebagai salah satu faktormengapa orang-orang
Eropa datang menjajah bangsa Indonesia. Selain kaya akan sumber daya alamnya Maluku
utara juga kaya akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam.
Dari catatan sejarah sebelum Indonesia merdeka Malut adalah Negara-negara yang
berdaulat dibawah kekuasaan kesultanan-kesultanan.Ada sekitar 4 Kesultanan
(kerajaan) yang berkuasa dan berpengaruh sampai saat ini di Malut ialah
Kesultanan Ternate, kesultanan Tidore, Kesultanan jailolo dan kesultanan Bacan
serta terdiri juga dari berbagai suku/etnis yaitu suku Ternate, Tidore,Tobelo, Galela,
Sahu, makian,sanana dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan.
bandingkan dengan DIY yang hanya memiliki sebuah kesultanan dan sebuah pakualaman
serta hanya terdiri dari satu etnis saja yaitu etnis Jawa. Malut lebih atau
sarat akan keberagaman dan tatanan social local. Maka tidak mengherankan jika van
vollenhoven, seorang pakar hukum adat dari belanda mencatat bahwa Maluku Utara ialah
salah satu wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat adat di Indonesia (dulu Hindia
belanda). Pada saat kemerdekaan, Malut bergabung dengan Negara Kesatuan
Indonesia dan berkedudukan sebagai
sebuah residen (residen ternate). Sampai dimekarkan menjadi sebuah daerah Provinsi
pada Masa Pemerintahan Presiden BJ.Habibie pada tahun 1999. Namun,
Sejakdimekarkan dan sampai ini kepulauan yang kaya akanrempah-rempah itu masih
tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Berdasarkan jajak pendapat Koran kompas terhadap otonomi daerah Maluku
Utara pada tahun 2010 lalu, memberikan gambaran kepada kita bahwa kendala
infrastruktur wilayah dan belum terkonsolidasinya berbagai potensi pembangunan
di Maluku Utara menyebabkan hasil otonomi daerah selama ini belum mampu mengatasi
kemiskinan dan mengangkat nasib rakyat di provinsi kepulauan ini. Salah satu
indikator lambatnya laju pembangunan kesejahteraan di Malut adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif rendah. Sebagaimana yang dilansir
Litbang kompas angka IPM MALUT tahun 2008 adalah 68,18 %, di bawah IPM Nasional
sebesar 71,17 %. Jika di bandingkan dengan IPM di provinsi lain pada tahun
2008, MALUT berada di peringkat bawah, yakni ke-28 dari 33 Provinsi. Hanya Kota
Ternate yang memiliki IPM di atas angka Nasional dan pertumbuhannya mencapai 6
% selama Tahun 2002-2008.Halmahera barat dan Halmahera tengah hanya bertumbuh
3-4% selama periode itu. Bandingkan dengan Pertumbuhan IPM Nasional yang
mencapai 8,2 % pada periode yang sama. Jajak pendapat Kompas juga mengungkap,
secara umum separuh lebih responden (50,6 %) Malut menilai pelaksanaan otonomi
daerah dan pemekaran wilayah belum memenuhi harapan masyarakat. Yang menilai
sudah memenuhi sebanyak 43,9% responden. Di lihat dari asal daerah penduduk
asli merasa kurang memenuhi harapan ketimbang pendatang.Selain itu, konsentrasi
penduduk, pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi terpusat dan dominan terdapat
di Ternate di bandingkan dengan wilayah lain di kepulauan rempah-rempah ini.
Menurut Asghar Saleh, Wakil ketua fraksi partai Golkar DPRD kota
Ternate, Pemerintah Provinsi Malut belum berbuat banyak selama otonomi daerah.”apabila seluruh hasil pembangunan di
Tidore dan Ternate yang ada di zaman sebelum pemekaran itu diangkat, Malut itu
kosong, tidak punya apa-apa”(kompas :2010). Lambatnya perkembangan Malut
pascaotonomi daerah ini juga bisa dirunut dari sejarah konflik horizontal tahun
1999.Konflik ini berlarut-larut dan baru benar-benar selesai tahun
2005.Akibatnya pertumbuhan ekonomi di Malut pada periode 1999-2004 turun sampai
15 persen. Persoalan lain yang menjadi hambatan pembangunan ialah minimnya
investasi. Berdasarkan data Bappeda Malut tahun 2010, realisasi investasi kecil
jika di bandingkan daerah lain, hanya 3,32 % untuk penanaman modal asing dengan
nilai 233 juta dolar AS dan 5,24 % atau sebesar Rp. 193 miliar untuk penanam
modal dalam Negeri.Hal itu juga di perparah oleh perilaku-perilaku koruptif dan
kleptokratif dari oknum-oknum pejabat daerah yang menyebabkan Otonomi daerah
seakan berjalan di tempat.
PEMEKARAN YANG SALAH ARAH
Melihat lambatnya pembangunan otonomi daerah di wilayah Malut, beberapa
elit lokal mewacanakan dan
memperjuangkan tuntutan pemekaran
daerah-daerah baru Malut khususnya di wilayah Halmahera. Namun menurut penulis langkah
itu kurang tepat, karena hal tersebut tidak secara otomatis menyelesaikan
persoalan-persoalan menyangkutotonomi daerah selama ini bahkan sebaliknya,malah
memperparah keadaan. Berkaca dari pengalaman pemekaran sejak era reformasi sudah sekitar 489 kabupaten/kota dari 33 provinsi yang
terbentuk. Penambahan daerah ini dimulai pada tahun 1999. Sampai
tahun 2008, sudah ada penambahan 191 Daerah Otonom Baru (DOB). Rinciannya,
tahun 1999 sebanyak 45 DOB, tahun 2000 sebanyak tiga DOB, tahun 2001 sebanyak 12
DOB, tahun 2002 sebanyak 38 DOB, tahun 2003 sebanyak 49 DOB, tahun 2004
sebanyak 1 DOB, pada tahun 2007 sebanyak 25 DOB dan tahun 2008 sebanyak 18
daerah pemekaran, dan tahun 2009 sudah ada 2 DOB. Dengan demikian, sampai akhir
2009 di Indonesia terdapat 33 provinsi,
396 kabupaten, dan 93 kota. Jumlah ini akan terus
meningkat seiring masih berkembangnya tuntutan daerah untuk dapat dimekarkan.
Data diatas menunjukan kepada kita bahwa pemekaran pemerintah daerah telah
menimbulkan tekanan terhadap APBN akibat adanya sejumlah dana yang harus
ditransfer kepada pemerintah daerah baru.
selama kurun waktu 2008. Departemen
Dalam Negeri dalam evaluasinya menyebutkan 104 daerah (lima provinsi dan 97
kabupaten) pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2004, sekitar 76 di
antaranya masih bermasalah. Berbagai macam masalah yang timbul, dari mulai aset
daerah induk yang belum diserahkan ke daerah pemekaran sampai letak ibu kota
yang masih belum pasti. Penjelasan pada awal 2005 dari Depdagri, beberapa
persoalan yang muncul diantaranya, ada 87,71 persen daerah induk belum
menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79
persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas.
Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada
daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan
dari daerah induk ke daerah pemekaran.
Hasil penelitian Badan Dunia untuk
Program Pembangunan (United Nations Development Program - UNDP) dan Bappenas
menemukan setelah lima tahun dimekarkan, kondisi daerah otonom baru masih
berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Penduduk miskin
menjadi terkonsentrasi di daerah otonom baru. Hasil evaluasi UNDP dan Bappenas
menyebutkan, kondisi daerah-daerah pemekaran lebih buruk dibandingkan dengan
daerah induk. Studi tersebut juga menemukan, penyebab kondisi tersebut
didominasi keterbatasan sumber daya alam dan manusia daerah pemekaran. Hasil
penelitian yang dirilis Juli 2008 menyimpulkan tentang kegagalan pemekaran
daerah. Sebagai perbandingan, Hasil penelitian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran
daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh
lagi hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan
terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat
provinsi menjadi delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah
baru dan lama. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat
justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya,
biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi.
Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi
masyarakat. Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih
buruk dibanding sebelum pemekaran.
Menurut Saldi Isra, guru
besar Hukum Tata negara Universitas andalas bahwa ”Motivasi untuk membentuk
daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Komponen terbesar dalam dana transfer
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya
pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya
lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan
didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan
berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal
tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, akhirnya secara
politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah.” Pemekaran daerah pun
makin melenceng dari tujuan awal, Sehingga yang terjadi pertimbangan
pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan
pembangunan, tetapi kepentingan elite nasional dan elite lokal.
DESENTRALISASI ASIMETRIS SEBAGAI SOLUSI
Berangkatdari asumsidan hasil-hasil
penelitian diatas terkait kondisi demografi dan kondisi sosial ekonomi provinsi
Malut serta adanya kelemahan-kelemahan Pemekaran daerah, dapat di tarik tiga
kesimpulan. Yang pertama, Daerah Maluku utaraialah daerah yang sarat akan keberagaman budaya dan adat
istiadat yang beraneka ragam serta aspek kesejarahan yang tidak kalah penting
dengan Daerah lainnya di Indonesia. Kedua, penerapan otoda Malut sampai
saat ini belum menunjukan peningkatan yang signifikan guna tercapainya
kesejahteraan rakyat Malut. Ketiga, Pemekaran
daerah telah melenceng dari tujuan awal, bukan sebagai instrumen untuk
mensejahterakan rakyat di daerah dan pembelajaran Demokrasi di tingkat lokal
tetapi malah dimanipulasi secara koruptif demi kepentingan segelintir elit
lokal. Sejalan dengan kesimpulan tersebut di atas, maka perlu dipikirkan
mengenai langkah alternatif atau formula baru untuk mengatasi hal tersebut.
Alternatif yang di maksud adalah Penerapan Otonomi khusus (desentralisasi
asimetris) di Maluku utara. Timbul pertanyaan apakah Malut memenuhi syarat
untuk diberikan otsus? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu di uraikan tentang
kriteria daerah istimewa dan daerah khusus berdasarkan Tafsir MK. Seperti yang
di singgung di atassuatu daerah ditetapkan
sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak
asal-usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya NKRI.Jika Disingkronisasikan
syarat itu.Maka Malut memenuhi kriteria karena Daerah Maluku utara
memiliki keberagaman budaya dan
adat istiadat serta asal-usul kesejarahan Malut telah ada jauh sejak ratusan
tahun lalu sebelum para founding fathers bermimpi untuk mendirikan Negara
Indonesia. Yang kedua tafsir MK tentang daerah khusus terkait dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi
dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Jika Disingkronisasikan, maka Malut juga memenuhi syarat karena situasi
sosial politik di Malut pasca konflik horizontal dan pembangunan otonomi daerah
yang mandek serta kondisi geografis Malut yang terdiri dari pulau-pulau yang
terpisah satu sama lain memerlukan suatu kebijakan yang bersifat khusus untuk
menagkomodir semua hal itu. Oleh karena itu, dari berbagai upaya yang
diperlukanuntuk mengatasi masalah-masalah desentralisasi di Malut. Dapat
dikatakan bahwa Desentralisasi asimetris (otsus) sebagai solusi hal tersebut
bukan Pemekaran daerah baru…!!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar