by Muhammad Tabrani Mutalib SH
Dalam Hukum positif dikenal
istilah hukum “Mala In Se” dan “Mala Prohibita”. Yang pertama dapat
diartikan sebagai perbuatan yang dengan sendirinya dianggap jahat (dari
asal—usulnya merupakan Delik) sedangkan yang kedua, diartikan bahwa perbuatan
yang dianggap jahat hanya karena perbuatan tersebut dilarang oleh suatu tatanan
sosialpositif (peraturan per-UU-an). Tulisan ini bermaksud sebagai sentuhan
untuk membedakan dan memahami kembali kedua istilah hukum tersebut di atas.
Delik apabila dipahami
berdasarkan pengertiannya yang paling luas merupakan perbuatan yang merugikan.
danSanksi dibuat sebagai konsekuensi dari satu perbuatan yang dianggap
merugikan masyarakat dan harus dihindari menurut maksud dari tatanan hukum.[1]Secara
teori “maksud dari tatanan hukum” sama artinya dengan “tujuan dari pembuat
Undang-Undang”. Oleh sebab itu, maksud dan tujuan harus diwujudkan dalam isi
dari tatanan hukum itu sendiri (misalnya dalam KUH Pidana). Kalau tidak, konsep
delik tidak akan berupa konsep hukum.
Dari sudut pandang ini, delik
adalah suatu kondisi atau syarat bagi diberlakukannya sanksi oleh norma hukum. dimana
perbuatan seseorang dapat dinyatakan sebagai suatu delik (kejahatan) apabila
suatu tatanan hukum (peraturan per-UU) melekatkan suatu sanksi sebagai
konsekuensi terhadap perbuatan tersebut. Dengan kata lain suatu norma hukum
dapat dilekati oleh sanksi/ pemaksa secara fisik yang dilaksanakan oleh aparat
Negara (Polisi, jaksa, hakim) sedangkan selain norma hukum tidak dapat dilekati
oleh sanksi. Hal inilah yang membedakan norma hukum dari Norma-norma lainnya
(norma moral, adat, agama…dsb).Seorang ahli mahzab Realisme hukum asal
Amerika, Lawrence M. Friedman menyatakan
bahwa sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau peraturan dan setiap
peraturan hukum mengandung sebuah statemen
mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum. Konsekuensi-konsekuensi ini berupa
sanksi-sanksi– janji-janji atau ancaman.[2]yang
hakekatnya dibagi menjadi dua bagian, imbalan (sanksi Positif) dan hukuman
(sanksi negatif).[3]sekarang
kembali kepada pokok masalah, muncul pertanyaan. apakah suatu perbuatan
misalnya Pembunuhan, gratifikasi atau korupsi ialah perbuatan dari semula
merupakan kejahatan (Mala In Se)?
ataukah perbuatan-perbutan tersebut dianggap suatu kejahatan bila terlebih dahulu
ditetapkan oleh peraturan hukum sebagai suatu kejahatan (Mala Prohibita)?
Untuk menjawab pertanyaan di
atas, perlu saya kemukakan terlebih dahulu pendapat John Austin yang
mengungkapkan bahwa perbedaan antara Mala
In Se dan Mala Prohibita tidak
dapat dipertahankan di dalam teori hukum Positif. karena perbedaan ini
merupakan unsur khas dari dokrin hukum alam.[4]Selanjutnya
menurut, Austin perbedaan ini lahir dari asumsi–yang tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah–bahwa bentuk-bentuk perbuatan tertentu menurut sifatnya merupakan
delik. Sehingga ia menyimpulkan bahwa pertanyaan tersebut di atas hanya bisa
dijawab berdasarkan tatanan hukum tertentu bukan dengan menganalisa perbuatan
tersebut merupakan delik atau tidak. Misalnya, perbuatan pembunuhan atau
Gratifikasi (pemberian hadiah). Pembunuhan pada masyarakat modern merupakan
perbuatan yang tercela dan sangat keji. Akan Tetapi, dibeberapa masyarakat
tradisional diberbagai daerah di Indonesia Perbuatan membunuh orang lain yang
menghamili anggota keluarganya atau kehormatannya bukan merupakan kejahatan
sebagaimana yang dimaksud pada masyarakat modern melainkan pembalasan/penegakan
aturan moral di masyarakat. Kemudian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada
penyelenggara negara, di Indonesia dikategorikan sebagai penyuapan. namun hal
itu tidak berlangsung di Cina. Masyarakat Cina dengan budaya khasnya menganggap
pemberian hadiah berupa Ampao dll
kepada pejabat publik bukan merupakan delik penyuapan melainkan sebagai saran
menyarlurkan kedermawanan/keikhlasan seseorang berbagi kepada orang lain. dengan
demikian, tatanan hukum dan budaya yang berbeda-beda pada masyarakat yang
berbeda telah menggolongkan perbuatan tertentu sebagai delik atau bukan delik yang
berbeda pula. Berdasarkan fakta di atas, maka tipe-tipe perbuatan tertentu
disebut delik jika tidak hanya dicela oleh hukum positif tetapi juga dicela oleh
sistem moral yang diasumsikan sebagai Mala
In Semungkin tidak benar.
Jika memang demikian, lantas muncul
pertanyaan, bagaimana konsep delik
didefinisikan dalam suatu teori hukum positif? Jawabannya cukup sederhana,
yaitu tentu saja pembuat UU harus terlebih dahulu menilai bahwa jenis perbuatan
tertentu merupakan perbuatan yang bersifat malum
(merugikan) masyarakat atau kepentingan umum sebelum melekatkan sanksi
kepadanya. Oleh karena itu, dari sudut pandang di atas, tidak ada Mala In Se, yang ada hanyalah Mala Prohibita. Sebab suatu perbuatan
baru dinyatakan sebagai malum atau delik jika perbuatan itu Prohibitum atau dilarang. Hal ini tidak
lain merupakan konsekuensi dari azas-azas yang diterima secara umum dalam teori
hukum pidana yaitumulia pona sine lege, nullum crimen sine lege.[5]
(tiada sanksi tanpa suatu norma hukum yang memberikan sanksi ini, tiada delik
tanpa norma hukum yang menetapkan delik tersebut).
Namun, tentu saja secemerlang
apapun gagasan-gagasan. dalam kazanah keilmuan hukum dua hal tersebut di atas
akan terus diperdebatkan. dan hal itulah merupakan daya tarik dari ilmu hukum itu sendiri.Salam..!
[1]
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan
Negara, Judul asli General Theory of
law and State, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan ke-V,
(Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 74.
[2] Lawrence M.
Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu
Sosial, Judul asli The Legal system:
A Social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, cetakan ke-III,
(Bandung: Nusa Media,2009), hlm. 93.
[4] John Austin
dalam Hans Kelsen, Teori…loc,cit,
hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar