Minggu, 15 Juli 2012

PUTUSAN PENGADILAN YANG BATAL DEMI HUKUM

oleh
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf k menyatakan bahwa setiap putusan pemidanaan haruslah memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Tidak dipenuhinya ketentuan demikian, maka menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Istilah “batal demi hukum” dalam teori hukum diartikan sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak mempunyai nilai apapun secara hukum (legally null and void), sehingga putusan demikian dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi. Bagaimana mau mengeksekusi kalau putusan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai nilai hukum apapun juga?

Norma Pasal 197 KUHAP belakangan ini menjadi kontroversi setelah mencuatnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 atas terdakwa Parlin Riduansyah, pengusaha asal Banjarmasin, dan Theddy Tengko, Bupati Kepulauan Aru. Keduanya, dalam perkara yang berbeda, dibebaskan oleh pengadilan negeri. Namun karena Jaksa mohon kasasi, MA menjatuhan pidana. Tetapi, putusan kasasi MA tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sahkah putusan MA tersebut, dan dapatkan Jaksa mengeksekusinya? Hakim Agung Djoko Sarwoko mengatakan putusan tersebut tetap sah dan tetap dapat dieksekusi. Alasannya, ketentuan itu hanya berlaku bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak berlaku bagi MA. Ketentuan Pasal 197 itu berada dalam Bab XVI KUHAP yang mengatur pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan mahkamah agung. Putusan MA, menurutnya, adalah putusan akhir yang langsung dapat dieksekusi walapun tanpa mencantumkan perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Lagipula, tambahnya, sudah jamak putusan MA tidak mencantumkan ketentuan tersebut, namun eksekusi tetap dilaksanakan.

Saya beda pendapat dengan Djoko Sarwoko. Bab XVI KUHAP itu judulnya “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan”, yang otomatis berlaku pada semua tingkatan peradilan. Memang pemeriksaan di tingkat PN, PT dan MA berbeda sesuai kewenangannya, namun format putusan pengadilan yang bersifat pemidanaan pada tetaplah sama. Ketentuan Pasal 197 KUHAP harus dibaca secara utuh dan sistematik mulai dari Pasal 191 yang berisi bahwa putusan pembebasan dan pemidanaan harus diucapkan dalam sidang terbuka, putusan harus ditandatangani oleh semua majelis dan panitera, yang semuanya berlaku pada semua tingkatan peradilan. Pasal 197 ayat (1) itupun bunyinya “surat putusan pemidanaan” yang bersifat umum, tidak hanya berlaku bagi PN dan PT.Dalam KUHAP malah tidak ada format Putusan Pemidanaan yang khusus berlaku bagi Mahkamah Agung.

Sementara Indriarto Seno Adjie berpendapat, putusan MA yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tetap sah dan dapat dieksekusi karena hal itu hanya kesalahan administratif belaka. Seno Adjie mungkin lupa membaca ketentuan ayat (2) bahwa putusan yang tak mencantumkan hal itu adalah batal demi hukum. Keslahan administrative yang tidak menyebabkan putusan batal demi hukum, seperti dikemukakan dalam penjelasan pasal itu, hanya berlaku bagi Pasal 197 ayat (1) huruf a, e ,f dan h, yang karena kekhilafan atau kekeliruan dalam pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Digunakannya istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang mungkin menimbulkan salah paham. Trimoelja D Soerjadi dalam Kompas (30/5/2012) mengatakan semua putusan telah mempunyai kekuatan eksekutorial jika telah mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pendapat Trimoleya ini tidak benar. Irah-irah demikian hanyalah salah satu syarat sahnya putusan pengadilan, bukan berarti apapun bunyi putusan pengadilan harus dilaksanakan kalau sudah dicantumkan irah-irah itu dalam putusan. Trimoelja mengatakan kewenangan menahan atau tidak menahan itu merupakan kewenangan dikresioner. “Jadi tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka atau terdakwa ditahan” dengan mengaitkannya dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP.

Trimoelja lupa, kewenangan diskreoner menahan atau tidak menahan terkait dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP adalah dalam konteks kewenangan hakim melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Sementara keharusan mencantumkan agar “terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 KUHAP, bukan lagi berada dalam tahap pemeriksaan, namun dalam putusan pemidanaan. Kalau penahanan dikaitkan dengan kepentingan pemeriksaan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) KUHAP memang tidak logis, seperti kata Trimoelja, ada perintah penahanan dalam putusan karena pemeriksaan sudah selesai. Namun maksud perintah “ditahan atau tetap dalam tahanan itu” dalam putusan sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, tidak ada kaitannya dengan penahanan untuk pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) yang dijadikan titik tolak argument Trimoelja.

Berbeda dengan Trimoelja, saya memahami istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) adalah lain samasekali maknanya dengan penahanan dalam Pasal 20-23 KUHAP, yakni penahanan dalam konteks penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara, yang ada batas waktunya. Sebab jika batas waktu penahahan sudah habis, dan terdakwa sudah dibebaskan dari tahanan, maka perintah “penahanan” sebagaimana diatur dalam Pasal 197 dengan sendirinya menjadi melawan hukum. Maka perintah “penahanan” itu tidak bisa diartikan lain kecuali perintah agar terdakwa yang dijatuhi pidana “ditahan” atau "dieksekusi" untuk menjalani pidana penjara, sesuai bunyi putusan pemidanaan.

Kalau saya memahami bunyi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP seperti di atas, maka dapat dimengerti jika keharusan perintah menahan tidak dicantumkan, maka putusan itu batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi. Tanpa ada perintah untuk memenjarakan terdakwa yang telah dipidana itu, maka atas dasar apakah Jaksa sebagai eksekutor melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 KUHAP?. Itu sama halnya jika dalam putusan tidak dicantumkan identitas terdakwa seperti nama, alamat, kewarganegaraan, pekerjaan dan seterusnya. Siapa yang mau dieksekusi oleh jaksa?*

Kamis, 05 Juli 2012

Masyarakat Anomie di kota Madani (Suatu Catatan anarkisme antar kelompok masyarakat di kota Ternate)

Oleh
Muhammad Tabrani SH

Bentrokan yg terjadi di beberapa kelurahan di kota ternate sangat memprihatinkan dan membuat kita miris, kemudian kita bertanya dalam hati bahwa apakah memang benar cara-cara penyelesaian masalah yang tidak beradab seperti itu masih di praktekan pada zaman modern seperti sekarang ini. Lalu kemana tatanan nilai masyarakat madani ( civil society) yang menjadi semboyan dari kota tercinta ini? Apakah masyarakat madani hanya sekedar semboyan manis belaka tanpa implementasi? Kalau meminjam terminologi Christopher Bryant, masyarakat madani (civil society) ialah sebagai sebuah masyarakat yang memiliki peradaban (civility) yang membedakan dari masyarakat yang tidak beradab atau barbarian. Komponen dari civil society salah satunya di tandai dengan adanya arena public otonom yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Namun hal itu tidak kita lihat dalam dinamika social interaction di kota Ternate??
Pertikaian yang menelan korban jiwa maupun luka-luka yang terjadi antara kelurahan mangga dua vs ubo-ubo, tafure vs dufa-dufa dan toboko vs mangga dua baru-baru ini adalah penegas bahwa sisa-sisa perilaku era transisi akhir dekade1990-an masih dilakoni oleh sebagian masyarakat kita. Pada era itu, fenomena anarkisme begitu marak dan merebak dibanyak tempat di seantero negeri. Peristiwa itu masih menyisakan perasaan traumatis hingga kini. Apakah perkembangan anarkisme akhir-akhir ini merupakan puncak gunung es dari potensi anarkisme lebih besar dan masih dibwah permukaan? Praktek kekerasan sebagaimana pernah di catat oleh Bermanzhon, ungar dan Worcester pada umumnya merupakan pengalaman negeri yang sedang mengalami transisi rezim. Pada periode transisi, karakter social biasanya ditandai dengan meningkatnya agresivitas dan vandalisme. Ini merupakan situasi masyarakat seolah tidak memiliki Negara dan norma hukum (stateless dan lawless society). Hasil riset Robert Gurr misalnya, pernah mengungkapkan bahwa konflik etnik di berbagai Negara selama dekade 1960-an hingga 1990-an sering terjadi pada fase pemerintahan transisional.
Masyarakat pada fase transisi, menggunakan terminologi Emile Durkheim, adalah masyarakat Anomie, yaitu situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban social. Anomie muncul karena tatanan lama mengalami anakronisme sementara tatanan baru belum selesai dibentuk untuk ditaati. Ini adalah ruang kosong tumbuh suburnya anarkisme social. Namun sesungguhnya kota ternate dan pada umumnya Indonesia sudah tidak lagi dalam masa transisi karena kita telah melewatiya. Kita telah melangkah maju pada fase instalasi dan konsolidasi demokrasi lewat serangkaian reformasi baik reformasi kelembagaan pemerintahan maupun reformasi konstitusi.

Lemahnya kepercayaan 
 
Masih Sering terjadinya anarkisme massa menunjukan bahwa satu kaki kita masih tertinggal pada fase transisi, sedangkan satu kaki kita telah melangkah pada fase konsolidasi demokrasi. Yang seyogyanya ditandai dengan kultur demokrasi yang beradab. Ini adalah anomali fase transisi dan konsolidasi demokrasi yang menunjukan bahwa ada keterluputan kita dalam proses demokratisasi yang kita tempuh selama ini. Sedikitnya ada tiga penyebabnya.Pertama, proses demokrasi kita selama ini cenderung fokus pada aspek perangkat keras (hardwere) demokrasi.Akan tetapi kita lupa tentang pentingnya aspek perangkat lunak (softwere) demokrasi.Kita lebih mendahulukan urgensi restrukturisasi kelembagaan Negara dan reformasi konstitusi serta pembangunan yang bersifat materiil sembari menegasikan pentingnya edukasi nilai-nilai dan prinsip berdemokrasi.
Bangunan demokrasi juga tidak hanya mensyaratkan adanya mekanismechecks and balances untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan tapi juga membutuhkan modal social untuk menyemai high-trust society. Seperti di tegaskan oleh francis fukuyama, Trust adalah unsur penting dalam praktik demokrasi dan hubungan social antar masyarakat. Anarkisme hanya akan merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi serta berindikasi low-trust society. Kedua, kehidupan social kita tidak sepenuhnya di tunjang oleh hukum sebagai panglima. Potret penegakan hukum kita masih compang-camping, institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan mengalami krisis kepercayaan akut oleh masyarakat. Jangan heran jika ada gerombolan massa melempari dan mengacungkan senjata tajam ke arah polisi. Tindakan main hakim sendiri dan ekspresi anarkisme secara melawan hukum merupakan puncak gunung es terhadap krisis kepercayaan terhadap hukum. Ketiga, institusi demokrasi seperti legislatif dan eksekutif tidak diyakini sebagai representasi dari kepentingan public sehingga public tidak memosisikan sebagai jalur mediasi penyelesaian masalah mereka. Ini terutama disebabkan aktor-aktor Negara pada institusi demokrasi tersebut sering mendemonstrasikan teladan-teladan negatif terhadap publik.

Ketegasan merupakan keniscayaan

Perilaku-perilaku negatif dari pejabat Negara juga mendorong masyarakat melakukan kekerasan, hal itu menunjukan bahwa institusi demokrasi tidak mampu berperan sebagai kanalisasi embrio anarkisme. Namun, terlepas dari semua itu. Bagaimanapun tindakan tegas terhadap pelaku anarkisme harus dilakukan untuk menunjukan bahwa Negara ada dan Negara tidak boleh kalah oleh kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini bertujuan guna mengembalikan kewibawaan Negara agar tidak dilecehkan. Selain itu juga, aspek preventif jangka panjang terhadap anarkisme perlu juga dilakukan dengan jalan menabur benih-benih modal social, menjadikan hukum sebagai panglima, dan membuat institusi demokrasi berfungsi dan dipercaya.

Strategi “Tiki Taka” El Barca dan Upaya Pemberantasan Korupsi

Oleh
Muhammad Tabrani SH[1]

Siapa yang tidak tahu tentang El Barca sebutan FC Barcelona. Tim sepakbola yang berasal dari wilayah Catalonia Spanyol ini bisa dikatakan sebagai tim sepakbola terbaik dunia pada saat ini. Barcelona mempunyai penyerang seperti Messi dan gelandang kreatif seperti Iniesta dan Xavi. Barcelona punya pelatih seorang Joseph Guardiola, punya taktik dengan nama “Tiki-Taka”, dan punya kerja-sama Tim yang terbaik di dunia.[2]
Apabila diperhatikan strategi Tiki-Taka mempunyai konsep Cepat, kreatif tapi Sabar. Cepat artinya perpindahan bola dari kaki ke kaki bisa terjadi dalam seper sekian detik. Kreatif artinya harus memiliki Pemain tengah kreatif seperti Xavi dan Iniesta yang secara skill individu di atas rata-rata, Tiki-Taka mampu mengalirkan bola dari satu pemain ke pemain lain, dari sisi kiri sampai sisi kanan dengan akurasi passing diatas 80%. sehingga mampu menguasai bola dengan rata-rata 70% dalam setiap pertandingan. Sabar artinya tidak terburu-buru, pemain Tiki-Taka tidak berambisi untuk langsung menekan ke daerah pertahanan lawan. bahkan tidak jarang bola dialirkan kebelakang untuk berpindah sisi. Agak kontras memang, pergerakan bola yang cepat tidak dibarengi dengan serangan yang frontal.tapi justru itu adalah kuncinya sehingga strategi ini mampu membuat pemain lawan kehilangan semangat, jenuh, emosi dan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang tidak perlu untuk menghentikan penguasaan bola.[3] Gaya permainan seperti ini bukan hanya membuat pemain lawan frustasi tapi dapat berdampak buruk Tiki-Taka juga kepada Pelatih lawan. Lalu apa hubungan strategi Tiki-Taka Barcelona dengan kiat Pemberantasan Korupsi di Indonesia?Tulisan ini mencoba mendiskripsikan korelasi antara keduanya.

Korupsi : Sebab dan Akibat
            Korupsi telah menjadi penyakit masyarakat yang sukar sekali disembuhkan, bahkan aparatur Negara yang ditugasi oleh Peraturan perundang-undangan untuk memerangi korupsi malah terjangkit virus korupsi itu sendiri. Kenyataan ini membuat Publik bertanya apakah penyakit korupsi dapat disembuhkan?atau memang korupsi ini merupakan penyakit akut masyarakat yang telah terkondisikan secara historis sehingga sukar sekali diberangus? contoh kecil misalnya di Provinsi Maluku Utara hampir setiap hari ketika membaca, mendengar melalui media memberitakan tentang kasus korupsi rumput laut, korupsi DTT, korupsi pengadaan Proyek, korupsi ini korupsi itu. Dan yang lebih menggelitik hati publik ialah kasus-kasus korupsi yang diberitakan terus-menerus itu tidak pernah diselesaikan secara tuntas oleh para penegak hukum???
            Namun, memang harus disadari bahwa fenomena korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi merupakan masalah global dan semua Bangsa dan Negara di dunia tanpa terkecuali baik itu Negara berkembang maupun Negara maju merasakan impact-nya.derajat korupsi di berbagai Negara berbeda-beda sesuai dengan aneka macam faktor dan sebab yang rumit sejalan dengan kompleksitasnya sejarah dan budaya bangsa-bangsa yang bersangkutan. Susan Rose-Ackerman[4] mengungkapkan ada beberapa penyebab umum korupsi tumbuh begitu subur dibeberapa Negara termasuk Indonesia.yaitu (1) investasi Negara tidak Produktif dan ilegal, (2) rendahnya moral disebabkan kurang berfungsinya pranata-pranata sosial dan agama sehingga terlibat dalam bisnis ilegal dan mafia, (3) kemiskinan sebagai stimulun permanen, (4) budaya hadiah (fee) untuk mencari keuntungan tanpa dasar menjadi wajar, (5) hak kepemilikan yang terlalu besar kepada Administrasif, (6) aturan hukum membuka keleluasaan open intrepetative oleh pejabat sesuai dengan kepentingan serta abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Hal tersebut mengakibatkan antara laininefisiensi dan ketidaksetaraan di bidang ekonomi seperti naiknya pajak karena pendapatan Negara melalui pasar kompetitif berkurang, mengurangi legitimacy dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan serta menciptakan Pasar tidak kompetitif, tidak pasti dibandingkan dengan Pasar terbuka.[5] Selain itu juga dampaknya secara social budaya antara lain Tradisi Suap, Patronase, hadiah yang bersifat Quid pro quo (timbal balik) terhadap keuntungan yang besar dan dampak yang parah bagi masyarakat serta merugikan perekonomian Negara.
            Untuk menanggulangi masalah korupsi, diberbagai Negara-negara di dunia memiliki cara yang berbeda-beda namun kiranya tujuannya sama yakni meminimalisir kejahatan tersebut. Meminimalisir korupsi merupakan langkah yang paling rasional untuk mengatasinya karena korupsi adalah produk budaya masyarakat yang sangat tua seumuran dengan prostitusi dan perjudian.oleh sebab itu, mustahil ketika mengharapkan kejahatan ini berada pada titik nol.Sedangkan cara paling umum yang dilakukan Negara dalam mengurangi insentif korupsi yaitu dengan jalan reformasi dan pilihan pertimbangan reformasi di Negara demokrasi biasanya meliputi reformasi program publik, reformasi administratif, eliminasi program serta efek pencegah dari UU antikorupsi.[6]akan tetapi fakta menunjukan reformasi saja tidak cukup karena cara-cara demokratis tidak selalu dapat menjadi obat terhadap korupsi. dibutuhkantaktik-taktik extra-ordinary sebab korupsi merupakan extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa) sehingga membutuhkan strategi dan upaya yang extra-ordinary pula.

Out of the box
            Upaya extra-ordinary yang dimaksud disini bukan hanya mempertegas regulasi dan reformasi struktural belaka tapi perlu strategi lain yang tidak biasa. jika kita mau belajar dari filosofi permainan sepakbola, hal itupun tidak kalah pentingnya. dalam permainan sepakbola strategi memiliki peran yang urgen selain juga memiliki pemain yang bagus, dan pada konsteks ini kita membicarakan strategi “Tiki Taka” ala Barcelona.
            Dalam strategi “Tiki Taka” Barcelona memiliki pemain cepat, berskill tinggi dan berkarakter seperti Messi, Alexis, Pedro, dan Fabregas yang memiliki peranan memainkan bola dan berlari dengan cepat menusuk kejantung pertahanan yang sulit diatasi oleh pemain belakang lawan.Sama halnya juga aktor-aktor dalam upaya pemberantasan korupsi seperti komisioner KPK, Polisi, Jaksa, Hakim haruslah orang-orang yang memiliki kompetensi/skill yang mumpuni dibidang itu, berani bertindak cepat dan memiliki karakter yang kuat bak Striker maut sehingga ditakuti oleh para koruptor, bandit dan mafia.
            Strategi ini selain mengandalkan permainan cepat tetapi juga kreatifitas dan sabar memainkan bola membuat pemain lawan kehilangan semangat dan jenuh dengan permainan mereka. Barcelona memiliki gelandang kreatif, imajinatif seperti Xavi dan Iniesta dalam menjalankan taktik itu. Berbeda dengan Messi yang bermain cepat ala pemain latin, Xavi dan Iniesta lebih sabar mengalirkan bola dengan teknik tinggi memanfaatkan lebar lapangan dari sisi kiri sampai sisi kanan sehingga menambah irama permainan Barcelona. Gaya seperti ini terbukti melemahkan dan membuyarkan konsentrasi pemain lawan.Penegak hukum khususnya komisioner KPK harus sadar dari awal bahwa mereka menghadapi koruptor yang intelek. KPK membutuhkan komisioner dan penyidik yang kreatif, imajinatif, berpikir out of the box (mampu menabrak “tabu”) kekakuan birokrasi, sigap menghadapi serangan balik dari para koruptor serta sabar melihat peluang guna pencegahan korupsi seperti halnya Xavi dan Iniesta.
            Pendekatan Good Gevernance yang digaungkan Pemerintah melawan korupsi selama ini memiliki sayap menciptakan birokrat dan Politisi yang semakin Pintar dalam menyembunyikan aksi korupsinya. Bahkan politikus licik mampu menunggangi Good Gevernance hanya untuk meningkatkan popularitas dan Posisi politiknya.Lebih parahnya pendekatan ini juga menstimulasi terbentuknya konsolidasi kekuatan antara Politisi berhati busuk dengan Pengusaha hitam.Buah dari perselingkuhan ini melahirkan bentuk korupsi yang canggih dan sulit diberangus. Melawan pola korupsi seperti ini tidak cukup ditangani dengan cara konvesional.[7] Korupsi yang canggih harus dilawan dengan strategi yang tak kalah canggih yang hanya bisa datang dari otak yang kreatif dan imajinatif.
Jika di dunia sepakbola, sebuah tim besar membutuhkan dukungan dari para Fans fanatiknya. Sama halnya juga dalam pemberantasan korupsi. Para penegak hukum baik itu KPK, Polisi, Jaksa membutuhkan orang-orang kreatif yang mampu membangun aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan diluarnya.Seperti komunitas akar rumput, para anak muda, seniman serta seluruh stakeholder untuk mengembangkan strategi bersama yang efektif melawan korupsi yang menyamai “Tiki Taka” ala El Barca.
Sampai saat ini,holly war (perang suci) melawan korupsi masih terus berlangsung. Perang jenis ini hanya memihak kepada mereka yang memiliki kecerdikan, kerjasama tim, dan daya juang tinggi. Sehubungan dengan itu, (Alm) Satjipto Rahardjo pernah menegaskan bahwa kondisi darurat Korupsi di Indonesia membutuhkan orang-orang yang luar biasa, dengan sikap yang luar biasa untuk menghadapi kejahatan luar biasa itu. Apakah hal itu dapat terwujud?yang pasti optimisme dan harapan tidak pernah akan hilang dari kita semua. Semoga..!!!


[1] Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

[2]Diolah dari http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/01/16/barcelona-sebenarnya-memang-bisa-ditaklukkan/ , tanggal akses 1 April 2012.

[3]Diolah dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=239734719397951, tanggal akses 1 April 2012

[4]Susan Rose-Ackerman, Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, Akibat dan Reformasi, judul Asli (Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform) diterjemahkan oleh Toenggoel P. Siagian, cet-II, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2010), hlm. 4

[5]Ibid,.

[6]Ibid,.hlm. 55.

[7]Frengky Simanjuntak, “The Green Lantern” dan pansel KPK, surat kabar Kompas edisi Juni 2011.

Sabtu, 30 Juni 2012

OTONOMI KHUSUS SEBAGAI SOLUSI MASALAH DESENTRALISASI DI MALUKU UTARA, BUKAN PEMEKARAN!


 Oleh
Muh. Tabrani Mutalib SH.

“otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan, tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan daripada riwayat dan sifat daerah lain. Berhubung dengan itu menurut pendapatnya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model”.( Soepomo)
Konsep otonomi khusus atau oleh pakar Politik menyebutnya Desentralisasi asimetris (AsymmetricalDecentralization) merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar daerah tersebut.Atau juga sering diartikan desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah Negara dengan mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah. konsep otsus (otonomi khusus) secara hukum (legal-formal) di akomodir dalam ketentuan UUD 1945 pasal 18 B ayat (1) dan (2), dan Di Indonesia sendiri Konsep tersebut sebenarnya sudah mulai dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi khusus seperti Papua dan NAD, Jakarta dan Yogyakarta.latarbelakang diberikan otonomi khususkepada daerah-daerah tertentu sesungguhnya tidak terlepas dari alasan Politis Pemerintah pusat yang tujuan akhirnya untuk melindungi dan menjamin keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya sebagai lembaga penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution) dalam Putusannya (No. 81/Puu-Vii/2010) menilai bahwa penetapan nama suatu daerah menjadi daerah istmewa dan daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda. Suatu daerah ditetapkansebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.Jadi putusan MK tersebut memberikan kita penjelasan tentang ruang lingkup dan jenis otsus yang ditetapkan melalui UU terkait.



BEBERAPA PERSOALAN TERKAIT OTODA MALUKU UTARA
Maluku Utara (North Moluccas) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang setelah reformasi dimekarkan menjadi sebuah provinsi terlepas dari daerah induk atau sebelumnya tergabung dengan Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon.Daerah ini sejak dulu atau sekitar abad ke-15 dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang sangat kaya. Hal itu di yakini oleh masyarakat Malut  sebagai salah satu faktormengapa orang-orang Eropa datang menjajah bangsa Indonesia. Selain kaya akan sumber daya alamnya Maluku utara juga kaya akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam. Dari catatan sejarah sebelum Indonesia merdeka Malut adalah Negara-negara yang berdaulat dibawah kekuasaan kesultanan-kesultanan.Ada sekitar 4 Kesultanan (kerajaan) yang berkuasa dan berpengaruh sampai saat ini di Malut ialah Kesultanan Ternate, kesultanan Tidore, Kesultanan jailolo dan kesultanan Bacan serta terdiri juga dari berbagai suku/etnis yaitu suku Ternate, Tidore,Tobelo, Galela, Sahu, makian,sanana dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan. bandingkan dengan DIY yang hanya memiliki sebuah kesultanan dan sebuah pakualaman serta hanya terdiri dari satu etnis saja yaitu etnis Jawa. Malut lebih atau sarat akan keberagaman dan tatanan social local. Maka tidak mengherankan jika van vollenhoven, seorang pakar hukum adat dari belanda mencatat bahwa Maluku Utara ialah salah satu wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat adat di Indonesia (dulu Hindia belanda). Pada saat kemerdekaan, Malut bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia dan  berkedudukan sebagai sebuah residen (residen ternate). Sampai dimekarkan menjadi sebuah daerah Provinsi pada Masa Pemerintahan Presiden BJ.Habibie pada tahun 1999. Namun, Sejakdimekarkan dan sampai ini kepulauan yang kaya akanrempah-rempah itu masih tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Berdasarkan jajak pendapat Koran kompas terhadap otonomi daerah Maluku Utara pada tahun 2010 lalu, memberikan gambaran kepada kita bahwa kendala infrastruktur wilayah dan belum terkonsolidasinya berbagai potensi pembangunan di Maluku Utara menyebabkan hasil otonomi daerah selama ini belum mampu mengatasi kemiskinan dan mengangkat nasib rakyat di provinsi kepulauan ini. Salah satu indikator lambatnya laju pembangunan kesejahteraan di Malut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif rendah. Sebagaimana yang dilansir Litbang kompas angka IPM MALUT tahun 2008 adalah 68,18 %, di bawah IPM Nasional sebesar 71,17 %. Jika di bandingkan dengan IPM di provinsi lain pada tahun 2008, MALUT berada di peringkat bawah, yakni ke-28 dari 33 Provinsi. Hanya Kota Ternate yang memiliki IPM di atas angka Nasional dan pertumbuhannya mencapai 6 % selama Tahun 2002-2008.Halmahera barat dan Halmahera tengah hanya bertumbuh 3-4% selama periode itu. Bandingkan dengan Pertumbuhan IPM Nasional yang mencapai 8,2 % pada periode yang sama. Jajak pendapat Kompas juga mengungkap, secara umum separuh lebih responden (50,6 %) Malut menilai pelaksanaan otonomi daerah dan pemekaran wilayah belum memenuhi harapan masyarakat. Yang menilai sudah memenuhi sebanyak 43,9% responden. Di lihat dari asal daerah penduduk asli merasa kurang memenuhi harapan ketimbang pendatang.Selain itu, konsentrasi penduduk, pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi terpusat dan dominan terdapat di Ternate di bandingkan dengan wilayah lain di kepulauan rempah-rempah ini.
Menurut Asghar Saleh, Wakil ketua fraksi partai Golkar DPRD kota Ternate, Pemerintah Provinsi Malut belum berbuat banyak selama otonomi daerah.”apabila seluruh hasil pembangunan di Tidore dan Ternate yang ada di zaman sebelum pemekaran itu diangkat, Malut itu kosong, tidak punya apa-apa”(kompas :2010). Lambatnya perkembangan Malut pascaotonomi daerah ini juga bisa dirunut dari sejarah konflik horizontal tahun 1999.Konflik ini berlarut-larut dan baru benar-benar selesai tahun 2005.Akibatnya pertumbuhan ekonomi di Malut pada periode 1999-2004 turun sampai 15 persen. Persoalan lain yang menjadi hambatan pembangunan ialah minimnya investasi. Berdasarkan data Bappeda Malut tahun 2010, realisasi investasi kecil jika di bandingkan daerah lain, hanya 3,32 % untuk penanaman modal asing dengan nilai 233 juta dolar AS dan 5,24 % atau sebesar Rp. 193 miliar untuk penanam modal dalam Negeri.Hal itu juga di perparah oleh perilaku-perilaku koruptif dan kleptokratif dari oknum-oknum pejabat daerah yang menyebabkan Otonomi daerah seakan berjalan di tempat.
PEMEKARAN YANG SALAH ARAH
Melihat lambatnya pembangunan otonomi daerah di wilayah Malut, beberapa elit lokal  mewacanakan dan memperjuangkan  tuntutan pemekaran daerah-daerah baru Malut khususnya di wilayah Halmahera. Namun menurut penulis langkah itu kurang tepat, karena hal tersebut tidak secara otomatis menyelesaikan persoalan-persoalan menyangkutotonomi daerah selama ini bahkan sebaliknya,malah memperparah keadaan. Berkaca dari pengalaman pemekaran sejak era reformasi sudah sekitar  489 kabupaten/kota dari 33 provinsi yang terbentuk. Penambahan daerah ini dimulai pada tahun 1999. Sampai tahun 2008, sudah ada penambahan 191 Daerah Otonom Baru (DOB). Rinciannya, tahun 1999 sebanyak 45 DOB, tahun 2000 sebanyak tiga DOB, tahun 2001 sebanyak 12 DOB, tahun 2002 sebanyak 38 DOB, tahun 2003 sebanyak 49 DOB, tahun 2004 sebanyak 1 DOB, pada tahun 2007 sebanyak 25 DOB dan tahun 2008 sebanyak 18 daerah pemekaran, dan tahun 2009 sudah ada 2 DOB. Dengan demikian, sampai akhir 2009 di Indonesia  terdapat 33 provinsi, 396 kabupaten, dan 93 kota. Jumlah ini akan terus meningkat seiring masih berkembangnya tuntutan daerah untuk dapat dimekarkan. Data diatas menunjukan kepada kita bahwa pemekaran pemerintah daerah telah menimbulkan tekanan terhadap APBN akibat adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru.
selama kurun waktu 2008. Departemen Dalam Negeri dalam evaluasinya menyebutkan 104 daerah (lima provinsi dan 97 kabupaten) pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2004, sekitar 76 di antaranya masih bermasalah. Berbagai macam masalah yang timbul, dari mulai aset daerah induk yang belum diserahkan ke daerah pemekaran sampai letak ibu kota yang masih belum pasti. Penjelasan pada awal 2005 dari Depdagri, beberapa persoalan yang muncul diantaranya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.
Hasil penelitian Badan Dunia untuk Program Pembangunan (United Nations Development Program - UNDP) dan Bappenas menemukan setelah lima tahun dimekarkan, kondisi daerah otonom baru masih berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Penduduk miskin menjadi terkonsentrasi di daerah otonom baru. Hasil evaluasi UNDP dan Bappenas menyebutkan, kondisi daerah-daerah pemekaran lebih buruk dibandingkan dengan daerah induk. Studi tersebut juga menemukan, penyebab kondisi tersebut didominasi keterbatasan sumber daya alam dan manusia daerah pemekaran. Hasil penelitian yang dirilis Juli 2008 menyimpulkan tentang kegagalan pemekaran daerah. Sebagai perbandingan, Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat provinsi menjadi delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah baru dan lama. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat. Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih buruk dibanding sebelum pemekaran.
Menurut Saldi Isra, guru besar Hukum Tata negara Universitas andalas bahwa ”Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, akhirnya secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah.” Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, Sehingga yang terjadi pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan elite nasional dan elite lokal.
DESENTRALISASI ASIMETRIS SEBAGAI SOLUSI
Berangkatdari asumsidan hasil-hasil penelitian diatas terkait kondisi demografi dan kondisi sosial ekonomi provinsi Malut serta adanya kelemahan-kelemahan Pemekaran daerah, dapat di tarik tiga kesimpulan. Yang pertama, Daerah Maluku utaraialah daerah yang sarat akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam serta aspek kesejarahan yang tidak kalah penting dengan Daerah lainnya di Indonesia. Kedua, penerapan otoda Malut sampai saat ini belum menunjukan peningkatan yang signifikan guna tercapainya kesejahteraan rakyat Malut. Ketiga, Pemekaran daerah telah melenceng dari tujuan awal, bukan sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat di daerah dan pembelajaran Demokrasi di tingkat lokal tetapi malah dimanipulasi secara koruptif demi kepentingan segelintir elit lokal. Sejalan dengan kesimpulan tersebut di atas, maka perlu dipikirkan mengenai langkah alternatif atau formula baru untuk mengatasi hal tersebut. Alternatif yang di maksud adalah Penerapan Otonomi khusus (desentralisasi asimetris) di Maluku utara. Timbul pertanyaan apakah Malut memenuhi syarat untuk diberikan otsus? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu di uraikan tentang kriteria daerah istimewa dan daerah khusus berdasarkan Tafsir MK. Seperti yang di singgung di atassuatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya NKRI.Jika Disingkronisasikan syarat itu.Maka Malut memenuhi kriteria karena Daerah Maluku utara  memiliki  keberagaman budaya dan adat istiadat serta asal-usul kesejarahan Malut telah ada jauh sejak ratusan tahun lalu sebelum para founding fathers bermimpi untuk mendirikan Negara Indonesia. Yang kedua tafsir MK tentang daerah khusus terkait dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Jika Disingkronisasikan, maka Malut juga memenuhi syarat karena situasi sosial politik di Malut pasca konflik horizontal dan pembangunan otonomi daerah yang mandek serta kondisi geografis Malut yang terdiri dari pulau-pulau yang terpisah satu sama lain memerlukan suatu kebijakan yang bersifat khusus untuk menagkomodir semua hal itu. Oleh karena itu, dari berbagai upaya yang diperlukanuntuk mengatasi masalah-masalah desentralisasi di Malut. Dapat dikatakan bahwa Desentralisasi asimetris (otsus) sebagai solusi hal tersebut bukan Pemekaran daerah baru…!!?

Analisis Penerapan Otonomi Khusus dan Pengisian Jabatan Walikota/Wakil Walikota DKI Jakarta



Oleh

Muh. Tabrani Mutalib SH[1]



Abstract

Indonesia is one country in the world to deploy an autonomous specialized in the distribution of power Between central government and the decentralization policy area. special autonomy is applied in areas were given special autonomy That is not symmetrical with decentralization in other autonomous regions to organize and manage the interests of community at its own initiative based on the aspirations and basic rights of the area. Often in practice and have a special autonomy law That rule of law are different from other autonomous regions. So are the rules on filling the post of regional head / vice head of region. how the attraction Between the two. This paper discusses the relationship Between special autonomy to the charging position.
Key words: autonomy, filling the position

A.    Pendahuluan

Undang-Undang Dasar  1945 pasca amandemen Pasal 1 ayat (1) telah jelas dan sangat tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Oleh sebab itu, Negara Indonesia tidak terdiri atas suatu daerah atau beberapa daerah yang berstatus Negara bagian (deelstaat) dengan Undang-Undang Dasar sendiri.akan tetapi merupakan Negara kesatuan yang di desentralisasi. Wilayah Negara kesatuan yang didesentralisasi terdiri atas daerah-daerah yang tidak diberi suatu pouvoirconstituant (kekuasaan membuat Undang-Undang dasar) sendiri seperti yang diberi kepada Pemerintah suatu Negara Bagian, rumah tangga daerah-daerah itu tidak diatur oleh pusat tetapi oleh Pemerintah daerah-daerah tersebut. Kekuasaan ini disebut kekuasaan (hak) otonomi.[1]merupakan pilihan yang paling rasional bagi bangsa yang sangat majemuk ini. Tetapi dalam implementasi dan operasionalisasinya tidak berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan, dan otonomi yang di berikan oleh Pamerintah pusat kepada Pemerintah daerah terkesan setengah hati karena hampir seluruh kewenangan daerah otonom masih di intervensi oleh pemerintah pusat (sentralisasi) dengan menggunakan pendekatan keamanan.
Hal itu memicu ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi seperti itu berlangsung lama sehingga menyebabkan munculnya pergolakan di  masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.untuk meredam hal itu serta guna mempercepat pembangunan, memperkecil kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, mengakomodir kekhasan budaya dan adat istiadat serta mewujudkan kesejahteraan umum yang merupakan cita-cita dari Bangsa Indonesia, maka pemerintah pusat mengambil langkah-langkah affirmatif dengan  memberikan kebijakan otonomi khusus  kepada beberapa daerah antara lain Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta, Papua dan DKI Jakarta.
Latar belakang diberikannya otonomi khusus kepada daerah-daerah di atas berbeda-beda sesuai aspirasi lokal dan kebutuhan masing-masing daerah.Aceh dan Papua karena terjadinya konflik di dua daerah tersebut, dimana daerah-daerah itu sama-sama terdiskriminasi dan diperlakukan secara tidak adil baik dari segi Politik dan Ekonomi  oleh pemerintah pusat. Yogyakarta  karena alasan kesejarahan dan asal-usul daerah tersebut sebelum kemerdekaan RI. Dan terakhir DKI Jakarta karena Jakarta memiliki fungsi, peran serta kedudukan sebagai  Ibukota Negara .
Namun, dari pemberian kewenangan khusus terhadap DKI Jakarta, ada sebuah keganjilan yang menurut penulis harus dikritisi lebih mendalam. Keganjilan yang dimaksud ialah atribusi kewenangan mengenai cara pengisian jabatan Walikota dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 29 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI yang menyebutkan bahwa: “Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas Pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Pegawai Nageri sipil yang memenuhi Persyaratan” Sedangkan berdasarkan UUD 1945 Bab VI tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18 ayat (4) dengan jelas menegaskan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Yang artinya menurut Penulis frasa “dipilih secara demokratis” mengandung dua makna yakni yang pertama, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah sesuai tingkatannya (Direct Democracy).dan yang kedua, kepala Daerah dipilih oleh DPRD didaerah masing-masing sebagai perpanjangan tangan dari rakyat yang diserahi kewenangan dan legitimasi oleh rakyat melalui Pemilihan (Indirect Democracy).
Dengan demikian, timbul pertanyaan mendasar apakah kebijakan penerapan otonomi khusus yang diberikan oleh Pemerintah pusat kepada daerah Provinsi DKI Jakarta yang menyangkut tentang cara pengisian jabatan kepala Daerah (Walikota/Wakil Walikota) telah sesuai dengan amanat konstitusi (UUD) sebagai Norma hukum tertinggi di Republik Indonesia?
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat di indentifikasi rumusan masalah sebagai berikut, bahwa Apakah pengisian jabatan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan sistem pengisian jabatan Kepala Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan kedua, Apakah dalil “kekhususan” DKI  Jakarta dapat memiliki aturan hukum yang berbeda tentang pengisian jabatan Walikota/Wakil Walikota dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945?

B.     Tinjauan Pustaka

1.      Perkembangan pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia setelah kemerdekaan
Berikut ini adalah perkembangan Pengisian Jabatan Kepala Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia setelah masa kemerdekaan:
a.       Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 adalah untuk menarik kekuasaan eksekutif dari tangan Komite Nasional Indonesia daerah (KNID).[2] Penarikan disebabkan, antara adanya dualisme pemerintahan di daerah:  di satu pihak memegang kekuasaan sipil sesuai dengan kedudukanya sebagai pembantu pemerintah, dipihak lain Pangrehpraja dan polisi menjalankan tugas sebagai pegawai Republik Indonesia. Oleh sebab itu, KNID perlu dijelmakan menjadi Badan Perwakilan Rakyat untuk sementara, yakni sampai terbentuknya Badan perwakilan Rakyat berdasarkan hasil pemilihan umum baik ditingkat Keresidenan, Kota, dan Kabupaten.
Dengan demikian, UU No.1 Tahun 1945 menhidupkan kembali pemerintahan daerah otonom yang terhapus selama pendudukan jepang.[3]Dilihat dari muatannya UU No. 1 Tahun 1945 menganut asas otonomi formal.Kepala Daerah, disamping berkedudukan sebagai organ daerah otonom, berkedudukan pula sebagai alat pusat di daerah; karenanya tidak dipilih oleh KNID melainkan oleh pemerintahan pusat.
b.      Undang-Undang 22 tahun 1948
Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya UU No. 22 Tahun 1948 menentukan satu macam satuan pemerintahan di daerah, yaitu satuan pemerintahan daerah otonom. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ini menetapkan daerah tersusun dalam tingkatan yaitu Provinsi, Kabupaten (kota besar) dan Desa (kota kecil). Sedangkan pada ayat (2) disebutkan daerah otonom lain yaitu ”Daerah Istimewa” yakni, daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul sejak zaman sebelum proklamasi kemerdekaan.[4]UU ini menganut asas otonomi materiil dan formal sekaligus dan pemerintah daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.Menurut Pasal 2 ayat (3) UU ini, kepala daerah menjabat ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah.Pemerintahan harus dijalankan secara kolegial oleh DPRD, Dewan pemerintah Daerah dan Kepala Daerah tidak merupakan satuan operator tersendiri dalam struktur pemerintahan di daerah[5] (karena dia tercakup dalam struktur DPD itu). Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk tingkat Provinsi, oleh Menteri dalam negeri untuk Kabupaten (kota besar), oleh Gubernur untuk tingkat desa dari minimal 2 calon dan maksimal 4 calon yang di usulkan oleh DPRD masing-masing.
c.       Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Sebagai UU yang berinduk pada UUDS 1950 maka UU No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni ”otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. menurut Pasal 23 dari UU No. 1 tahun 1957 bahwa kepala Daerah tidak lagi diangkat oleh Pemerintah pusat melainkan dipilih sesuai dengan ketentuan UU. Tetapi sebelum UU tentang Pemilihan itu ada, maka kepala Daerah dipilih oleh DPRD (Pasal 24).Artinya, Pemilihan oleh DPRD hanya bersifat sementara.Dengan kedudukan seperti itu, kepala daerah adalah alat daerah otonom bukan alat pusat di daerah.Hal itu semata-mata merupakan perwujudan dari keinginan UU No. 1 Tahun 1957 untuk menghilangkan sifat dualisme sekaligus memberi bobot kehidupan demokrasi.Untuk pengangkatan Kepala daerah istimewa diatur berbeda. Menurut Pasal 25 UU No. 1 tahun 1957, kepala daerah istimewa,daerah tingkat I, diangkat oleh Presiden, daerah tingkat II dan III diangkat oleh Menteri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD. Calon tersebut diambil dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, sejak sebelum ada Republik Indonesia. Tetapi kepala Daerah Istimewa  merupakan organ daerah otonom, bukan alat Pusat didaerahnya.[6]
d.      Penpres No. 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 menghilangkan sifat dualisme dengan menempatkan kembali kepala daerah sebagai alat pusat, di samping alat daerah otonom (Pasal 14).Kepala daerah merupakan unsur Pemerintah daerah yang berdiri sendiri di samping DPRD (Pasal 1).Kepala Daerah Tingkat I oleh Presiden dan Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh menteri dalam negeri atas persetujuan Presiden.dengan demikian, ciri umum Desentralisasi, yakni kewenangan Daerah untuk memilih sendiri penangung jawab pemerintahnya, tidak ada lagi.
e.       Undang-Undang No. 18 tahun 1965
Meskipun ada beberapa perubahan, tetapi pada dasarnya watak “sentralistik” yang ada di dalam Penpres No. 6 Tahun 1959 tetap sangat menonjol dalam UU No. 18 Tahun 1965, kedudukan kepala daerah sebagai alat Pusat, sebagai pimpinan eksekutif di daerah, serta cara pengangkatannya, pengaturannya tetap sama dengan di dalam Penpres. Akan tetapi, ada beberapa perubahan antara lain Pasal 8 menjelaskan bahwa jika pada peraturan sebelumnya kepala daerah karena jabatannya, adalah ketua DPRD, maka menurut UU ini, kepala daerah tidak lagi ketua DPRD, tetapi Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas bertanggung jawab kepada kepala Daerah.
f.       Undang-Undang No.5 Tahun 1974
Mengenai Pengisian jabatan kepala daerah dalam UU ini adalah bahwa kepala daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dan kepala daerah tingkat II diangkat oleh Menteri dalam negeri dari sekurang-kurangnya dua calon yang diajukan berdasarkan pencalonan dan hasil pemilihan DPRD masing-masing.Sedangkan wakil kepala daerah diajukan oleh Gubernur atau Bupati kepada pusat (Presiden, Mendagri) setelah memperoleh persetujuan dari DPRD, tanpa melalui pemilihan.[7]
g.      Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersama.[8]Lebih lanjut, setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada salah satu pasangan calon Kepala / wakil kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh DPRD.Jadi dalam UU ini kepala daerah dipilih secara perwakilan (Indirect Democracy) bukan memalui pemeilihan Umum.Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara langsung, umun, bebas, rahasia, jujur dan adil.
h.      Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Berdasarkan perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000 telah merubah secara keseluruhan bentuk pemerintahan Daerah di Indonesia. Maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.[9]Prinsip/asas otonomi daerah dalam UU ini adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung.[10]

2.      Asas  Pelaksanaan  Otonomi  Daerah
Berbicara landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan dijumpai tiga asas pokok yag selama ini sering digunakan banyak Negara yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan (medebewind). Berikut Asas pokok yang telah berkembang di Indonesia dewasa ini:
a.      Asas Desentralisasi
Hans Kelsen[11] menjelaskan secara gamblang bahwa Desentralisasi terdiri dari norma-norma yang memiliki bidang validitas teritorial (wilayah keabsahan) yang berbeda, sejumlah normanya berlaku untuk seluruh teritorial, kalau tidak teritorial ini tidak akan merupakan teritorial dar satu tatanan hukum, sedangkan sejumlah norma lain yang berlaku hanya untuk bagian-bagian teritorial yang berbeda. Norma yang berlaku bagi seluruh teritorial kita usulkan disebut norma pusat, sedangkan norma yang berlaku sebagian teritorial disebut norma daerah.
b.      Asas Dekonsentrasi
menurut Laica Marzuki[12] dekonsentrasi merupakan ambtelijkedecentralisastie atau delegativevanbevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan Pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintahan Pusat. Jadi, dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau pemancaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat.
c.       Asas Medebewind
Mahfud MD berpendapat bahwa Asas Medebewind  adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah, dalam arti bahwa organisasi pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan kewajiban untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.[13]
3.      Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto[14], memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
  1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
  2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula(lex superior derogat lex inferior);
  3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
  4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
  5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
4.      Amandemen Kedua UUD 1945 Mengenai  Pemerintahan Daerah

a.       Gagasan tentang Pembagian Daerah Otonom di Indonesia (Pasal 18 ayat 1 UUD 1945)
Mengenai pembagian daerah otonomi dalam perubahan ke dua UUD 1945, pertama kali diusulkan oleh Asnawi Latief F-PDU pada rapat PAH III BP MPR ke- 6. Tanggal 10 desember 1999 yang di pimpin oleh Jakob Tobing dengan agenda penjelasan dan tanggapan fraksi-fraksi tentang usulan perubahan pasal 18 UUD. Pada rapat itu, Asnawi latief mengemukakan perlu adanya pemikiran baru yang harus dipikirkan tentang pembagian wilayah otonomi menjadi propinsi, kabupaten, dan seterusnya.[15]Dalam rapat itu Asnawi Latif menyampaikan materi yang ada bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah, lalu yang kedua mengenai sifat otonom dan sifat administrasi jadi, bukan daerah otonom dan daerah adminiustrasi namun sifatnya.[16]Sutjipno dari F-PDIP mengemukakan sebagai berikut “yang dibagi bukan daerahnya tapi kewenangan atau authority yang termasuk dalam otonom dan medebewind.Pendapat sutjiipno tersebut direspon positif oleh Jakob Tobing selaku ketua rapat.[17]Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang pasal 18 ayat 1 disepakati bersama dan disahkan pada sidang paripurna tanggal 18 agustus 2000.
b.      Gagasan tentang Pengisian Jabatan Kepala Daerah (Pasal 18 ayat 4 UUD 1945)
Pembahasan mengenai pengisian jabatan kepala daerah pertama kali diusulkan oleh Ali Marwan Hanan dari Fraksi PPP pada Rapat PAH I BP MPR ke-36, tanggal 29 Mei 2000 yang mengatakan sebagai berikut: “Presiden itu dipilih secara langsung, maka pada pemerintahan daerah pun Gubernur dan Bupati, dan Walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nanti akan kita atur.”[18]
Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan Pasal 18 ayat (4), Jakob Tobing mengemukakan alternatif-alternatif yang berkaitan dengan pemilihan Kepala daerah antara lain, alternatif 1: Pemilihan secara langsung atau cara lain yang dianggap demokratis (alternatif 2).[19]Menanggapi usul tersebut, Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP mengatakan bahwa ide pemilihan ini dimasukkan didalam Istilah Demokratis sehingga demokratis disini memang bisa mengandung Langsung, bisa mengandung tidak langsung, tetapi tidak usah secara eksplisit.[20] Hasil-hasil tim perumus tentang materi pemerintahan Daerah termasuk Pasal 18 ayat (4) dapat disepakati dalam Rapat Komisi A MPR ke-6 (Lanjutan), 14 Agustus 2000, yang dipimpin oleh Antonius Rahail selanjutnya rumusan tentang pemerintahan Daerah yang disepakati di komisi A dilaporkan ke rapat Paripurna sidang Tahunan MPR. pada Rapat Paripurna ke-7, 15 Agustus 2000.

5.      Konsep Otonomi Khusus
Mengenai Otonomi khusus, Laurence Sullivan[21]  pernah menyatakan bahwa Otonomi khusus adalah sebuah langkah afirmatif yang dilakukan oleh Pemerintah pusat guna meningkatkan pembangunan dan kesetaraan  diantara daerah satu dengan daerah lainya, serta melindungi dan menjamin hak-hak golongan minoritas supaya terbebas dari perlakuan yang bersifat diskriminasi. Karena hampir semua negara di dunia memiliki satu atau lebih kelompok minoritas dalam wilayah nasional mereka dan kelompok-kelompok ini memiliki identitas etnik, bahasa, atau agama yang berbeda dengan identitas penduduk mayoritas.[22]
a.      Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi asimetris adalah kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.atau dapat juga dikatakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hakhak dasar daerah tersebut.[23]
Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang Asymmetric Federation atau Federal asimetris yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton[24] pada tahun 1965 Menurutnya, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de factoasymmetry dan de jure asymmetry.
1).       De factoasymmetry merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan;
2).      De jure asymmetry merupakan produk Konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.
b.      Perbedaan Daerah Khusus dan Daerah Istimewa di Indonesia
Dalam putusan perkara No. 81/PUU-VIII/2010.[25] Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Hukumnya menilai penetapan nama suatu daerah menjadi daerah istimewa atau daerah khusus  haruslah dengan kriteria yang berbeda. Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.[26]Jadi, Kalau Daerah khusus menitikberatkan pada spesifikasi kawasan, sedangkan daerah Istimewa berdasarkan pada faktor sejarah dan hak asal-usul.Dengan memperhatikan dua kriteria tersebut, menurut Mahkamah hak asal usul dan sejarah adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin dan tidak dapat diabaikan dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu daerah dalam Undang-Undang.Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan yang didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata yang mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang bersangkutan.[27]

C.    Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian dasar (basic research) dan termasuk dalam penelitian jenis deskriptif.Penelitian dasar yang dimaksud adalah penelitian yang berupa penegasan kembali atau pembuktian dari suatu pernyataan atau teori yang sudah ada sehingga berguna untuk memperkuat pernyataan atau teori yang semula.[28]Penelitian ini dilakukan dengan melalui studi pustaka atau library research.beberapa pendekatan, dengan pendekatan  tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang diteliti untuk dicari jawabannya. Maka Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute approach).Pendekatan Konseptual (Conceptual approach), Pendekatan perbandingan (Comparative approach).analisis atau penafsiran (interpretation) hukum yang dipakai seperti penafsiran otentik (autentik), penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal), penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan (wethistoris) atau berdasarkan sejarah hukum (rechthistoris), penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis.[29]

D.    Pembahasan
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, berikut ini analisis / penafsiran penulis:
Pertama, secara gramatikal bahwa Pengisian jabatan Walikota dan Wakil Walikota di DKI Jakarta menurut UU No. 29 Tahun 2007 Pasal 19 ayat (2), sebagaimana dijelaskan di atas, pada rumusan Pasal 19 ayat (2) dan (3) secara garis besar menyebutkan Walikota diangkatoleh Gubernur atas pertimbangan DPRD dari pegawai negeri sipil dan dapat diberhentikan oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kata diangkat menurut Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia artinya dilantik,[30] yang menunjukan bahwa cara pengisian jabatan tersebut ditetapkan atau dilantik oleh otoritas yang lebih tinggi dalam hal ini Gubernur. kata diangkat yang artinya dilantik sangat berbeda sekali maknanya dengan frasa dipilih secara demokratis yang menurut maksud (inten) dari perumus perubahan kedua UUD 1945, yang artinya dapat dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD. Dan penelusuran penulis dalam risalah-risalah rapat panitia Ad Hoc I BP MPR tentang proses perubahan kedua UUD 1945, penulis tidak menemukan satu buktipun yang menunjukan bahwa para perumus alpa atau sengaja tidak membahas mengenai pengangkatan atau pelantikan kepala daerah, yang dibahas hanya dipilih langsung dan oleh DPRD. Oleh karena itu, Pasal 19 ayat (2) UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesiabertentangan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Kedua, analisis atau penafsiran secara otentik (autentik), menurut Maria Farida Indrati yang mengutip pendapat Hans Kelsen bahwa Hukum itu sah (valid) apabila dibuat oleh otoritas yang berwenang membuatnya dan bersumber serta berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh Norma yang lebih tinggi (Superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang membentuk suatu Hierarkhi.[31]Sejalan dengan itu, sehingga konsep otonomi daerah dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945.  Apabila dilepaskan dengan konteks tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya. Oleh sebab itu, Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2007[32] yang menyebutkan bahwa Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan (Inferior) merupakan inkonsistensi penafsiran dari Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” (Superior). Sehingga dapat disimpulkan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap asas/prinsip lex Superior derogate lex Inferior dalam pembentukannya.
Ketiga, analisis atau penafsiran berdasarkan sejarah hukum atau sejarah perundang-undangan (rechthistoris/ wethistoris), bahwa pengisian jabatan kepala daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang pernah berlaku sebagaimana disebutkan dalam Bab II Tinjauan Pustaka diatas, lebih banyak diangkat daripada dipilih. Hal ini juga tidak terlepas dari efek refleksi norma dasar (konstitusi) yang membawahinya pada masa rezim yang berbeda. Dari 8 (delapan) Peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku, ada 5 (lima) UU tentang Pemda yang cara pengisian jabatan kepala daerahnya diangkat oleh Presiden / Pemerintah dan 2 (dua) UU Pemerintahan daerah yang pengisian jabatan kepala daerahnya dipilih oleh DPRD yaitu UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan hanya 1 (satu) UU yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mengatur Kepala daerah menduduki jabatannya dengan cara dipilih langsung oleh rakyat.
Kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda membawa konsekuensi yuridis berbagai ketentuan dalam UU No. 34 tahun 1999[33]. Konsekuensi tersebut bukan hanya dari penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom, berkedudukan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, sebagai tempat perwakilan Negara asing dan lembaga Internasional lainnya, melainkan karakteristik permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan DKI Jakarta sehingga diubah dengan UU No. 29 Tahun 2007[34] karena dirasa tidak sesuai dengan dengan perkembangan keadaan, dan tuntutan penyelenggaraan Pemerintah.[35]Oleh karena itu, Pengisian jabatan kepala daerah (Walikota/Wakil Walikota) seharusnya sejalan dengan Pengisian jabatan kepala daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemda yaitu dengan cara dipilih langsung oleh rakyat sebab hal tersebut  merupakan konsekuensi yuridis dari UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemda.
Keempat, analisis secara sosiologis, bahwa kondisi penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa berdasarkan sensus penduduk Tahun 2010 dan pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Kota/Kabupaten yang paling padat penduduknya adalah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan Seribu adalah kabupaten dengan paling sedikit penduduk, yaitu 19.545 jiwa. Wilayah metropolitan Jakarta (JABODETABEK) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa dengan budaya mestizo (Campuran) merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Disamping itu, penduduk di DKI Jakarta memiliki standar pendidikan relatif tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, sehingga membutuhkan praktik demokrasi yang sama dengan daerah lain dan Pemberlakuan otonomi pada tingkatan daerah di bawah provinsi adalah salah satu wujudnya.[36]Praktik demokrasi yang dimaksud adalah bahwa Kepala Daerah pada tingkat Kota/Kabupaten seharusnya dipilih agar dapat merepresentasikan kompleksitasnya masyarakat DKI Jakarta.Hal itu juga berkaitan erat dengan hak politik setiap individu masyarakat di Kota/ Kabupaten di DKI Jakarta. Karena UUD 1945 memberikan jaminan terhadap hak politik warga Negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (3) menegaskan “setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”[37]Oleh karena itu, Apabila hal tersebut tidak diwujudkan maka merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Konstitusional Warga Negara untuk berkesempatan menduduki jabatan-jabatan publik (pemerintahan) termasuk juga jabatan Walikota/Wakil Walikota di DKI Jakarta.Sehingga pelaksanaan pemilihan kepala Daerah pada tingkat Kota maupun Kabupaten merupakan komponen penting dan harus dijaga keberadaannya dalam membangun Masyarakat, Bangsa, Negara menuju pada tatanan pemerintahan yang lebih Demokratis.
Selanjutnya mengenai identifikasi masalah kedua penulis membahasnya sebagai berikut. Bahwa Penyerahan dan pelimpahan kewenangan khusus sebagaimana diatur dalam beberapa Undang-undang Otonomi Khusus (OTSUS) memiliki karakteristik dan dasar/alasan kekhususan yang berbeda satu sama lain. Untuk lebih jelasnyalihat Tabel berikut ini.
Dalil kekhususan
DKI Jakarta
Aceh
Papua
Yogyakarta
1.
Provinsi DKI Jakarta berkedudukan, berfungsi dan berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan Syari’at Islam antara pemerintahan aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
Adanya Majelis Rakyat papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua.dan juga menyeleksi calon Gubernur/Wakil Gubernur harus orang asli Papua
pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif pada tingkat Provinsi yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan.
2.
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam Kota Administrasi dan Kabupaten Administrasi.
Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri
orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan
sebagai simbol kedaulatan.
kewenangan di bidang pertanahan atau Hak Partikelir (yang dikenal dengan sultan grond) dan juga budaya.
3.
Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta
Mahkamah Syari’ah di Provinsi, Kabupaten dan kota selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama.
Pelaksanaan kewenangan khusus oleh Perdasus dan Perdasi.

4.
Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan, menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terdapat wali nanggroe sebagai lembaga adat dan pelestarian budaya.

partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan.

5.
Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
Susunan daerah dibawah kecamatan disebut dengan nama mukim dan Gambong.
Adanya Distrik (perbedaan nomenklatur) yang pada dasarnya kecamatan di provinsi lain.

Jumlah
5
5
5
2
Sumber: diolah dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_khusus, diakses tanggal 10 Januari 2011.
Dari data di atas, menggambarkan bahwa DKI Jakarta dan Aceh serta Papua memiliki  kewenangan khusus lebih banyak masing-masing 5 (lima) kewenangan sedangkan Yogyakarta hanya 2 (dua) kewenangan khusus.  Otonomi khusus buat Aceh lebih merupakan pengakuan & pengukuhan oleh Pemerintah Pusat terhadap penegakan nilai-nilai keislaman & budaya orang Aceh. Hal tersebut tidak jauh berbeda dgn otonomi khusus yg diberikan di Papua dimana juga adanya pengakuan oleh Pemerintah terhadap hak-hak & peran serta orang asli Papua beserta kebudayaannya guna meningkatkan harga diri, martabat dan kesejahteraan orang Papua itu sendiri. Selain itu jg, bg Yogyakarta pertimbangannya adalah kesejarahan & asal usul daerah Yogyakarta, krn Yogyakarta merupakan suatu kerajaan (kesultanan) berdaulat yg menggabungkan diri dgn NKRI sehingga tetap diakui & dipertahankanlah Monarki Yogyakarta dimana posisi kepala & wakil kepala eksekutif pd tingkat Provinsi yang hanya bisa ditempati oleh Sultan dan Pakualam.Dari data diatas, menunjukan bahwa pemberian otonomi khusus oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah tsb sesungguhnya lebih menekankan pd proses demokratisasi di tingkat lokal bukan malah semakin tersentralisasinya penyelenggaraan pemerintahan daerah. bagi DKI Jakarta sendiri Pertimbangannya ialah bahwa Jakarta berkedudukan sbg Ibukota Negara sehingga perlu diberikan kekhususan tugas,hak, kewajiban, & tanggung jwb dlm penyelengaraan pemerintahan Daerah. alasan itu berdasarkan Penafsiran Mahkamah Konstitusi merupakan kenyataan & kebutuhan politik yg karena posisi  keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yg tdk bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Analisis atau penafsiran fungsional bahwa Berdasarkan Pertimbangan inilah maka wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi kedalam Kota/Kabupaten Administrasi.& Sebagai konsekuensinya Walikota & Wakil Walikota tdk dipilih oleh Konstituen lokal (pemilih) ttp diangkat oleh Gubernur ats Pertimbangan DPRD. Alasan yg mendasarinya tidak lain demi efisiensi & efektifnya penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta sbg Ibukota Negara padahal, disatu sisi Pada penjelasan umum paragraph ke-7 UU No. 29 Tahun 2007 menjelaskan bhw dlm menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta yg karena kedudukannya sbg Ibukota Negara mk Gubernur DKI Jakarta dibantu oleh 4 (empat) orang Deputi yg diberi kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab Oleh karena itu, Walikota/Wakil Walikota tdk berperan menjalankan fungsi khusus pemerintahan DKI Jakarta, sehingga pengangkatan jabatan Walikota/Wakil Walikota menurut UU No. 29 tahun 2007 bkn merupakan pilihan kebijakan hukum yg eklektis dlm sebuah Negara Demokratis spt Indonesia.
Lebih lanjut, Mahkamah konstitusi menilai bahwa Kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan pemilihan Gubernur yang berbeda dengan Provinsi lainnya adalah hanya mengenai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia. karena seiring dengan perubahan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dari pemilihan oleh DPRD Provinsi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi pula perubahan cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dari pemilihan oleh DPRP menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan demikian dapat dipahami pemilihan Gubernur oleh DPRP tidak termasuk kekhususan Provinsi Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia.[38] berdasarkan Tafsir Mahkamah Konstitusi tersebut bahwa dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, mekanisme pengisian posisi Kepala daerah bukan merupakan kekhususan  atau  keistimewaan  yang  melekat  pada  daerah  yang bersangkutan baik karena hak asal-usul yang  melekat pada daerah yang telah diakui dan tetap hidup, maupun karena latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya kekhususan atau keistimewaan daerah sebagai  bagian  dari  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia. Oleh karena itu, dalil yang mengatakan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah ialah kekhususan dan keistimewaan daerah merupakan kekeliruan penafsiran (Mistake interpretative).sebab Kepala daerah yang dipilih oleh DPRP di daerah Papua saja oleh Mahkamah Konstitusi dinilai tidak demokratis apalagi kepala daerahnya (Walikota/Wakil Walikota) diangkat oleh Gubernur sebagaimana praktiknya di DKI Jakarta.

E.     Penutup
1.      Kesimpulan
a.       Kata diangkat yang artinya dilantik, menunjukan bahwa cara pengisian jabatan tersebut ditetapkan atau dilantik oleh otoritas yang lebih tinggi dalam hal ini Gubernur. Kata diangkat yang artinya dilantik sangat berbeda sekali maknanya dengan frasa dipilihsecarademokratis yang menurut maksud (inten) dari perumus perubahan kedua UUD 1945, yg artinya dapat dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD. merupakan pelanggaran terhadap asas/prinsip lex Superior derogate lex Inferior dalam pembentukannya. Pengisian jabatan Kepala Daerah (Walikota/Wakil Walikota) seharusnya sejalan dengan Pengisian jabatan kepala daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemda yaitu dengan cara dipilih langsung oleh rakyat. Berdasarkan kondisi demografis DKI Jakarta membutuhkan praktik demokrasi yang lebih kompleks sama daerah lain dan Pemberlakuan otonomi pada tingkatan daerah di bawah provinsi adalah salah satu wujudnya.
b.      Bahwa Walikota/Wakil Walikota tidak berperan menjalankan fungsi khusus pemerintahan DKI Jakarta, sehingga pengangkatan jabatan Walikota/Wakil Walikota bukan merupakan pilihan kebijakn hukum yang eklektis dalam sebuah Negara Demokratis seperti Indonesia. dalil yang mengatakan mekanisme pengisian jabatan Kepala daerah ialah kekhususan dan keistimewaan daerah merupakan kekeliruan penafsiran hukum (Mistake interpretative). prinsip otonomi harus menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan DKI Jakarta yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Karena otonomi daerah merupakan pancaran diterapkanaya asas desentralisasi. maka pada hakekatnya asas desentralisai inilah yang mendasari terwujudnya demokrasi.
2.      Saran
Perlu segera dilakukannya perubahan (revisi) atau diuji kesahihannya di Mahkamah Konstitusi (Judicial Review) UU No. 29 tahun 2007 tentang pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap UUD 1945 (konstitusi), terutama ketentuan-ketentuan mengenai pengisian Walikota/Wakil Walikota Pasal 19 ayat (2),(3),(6),(7) dan (8) terhadap Pasal 18 ayat (1), (4), dan Pasal 18B ayat (1). sehingga kejelasan antara ketentuan yang menyangkut otonomi khusus dengan ketentuan pengisian jabatan kepala daerah pada tingkatannya masing-masing tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran.
      Jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 9.6 juta jiwa lebih dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang relatif lebih tinggi dari daerah-daerah lain di Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa Provinsi DKI Jakarta membutuhkan praktik demokrasi yang lebih kompleks sama dengan daerah lain agar dapat lebih mengakomodir peran serta politik masyarakatnya baik memilih dan dipilih dalam mengisi jabatan-jabatan publik didaerah tersebut

Daftar Pustaka
Adi, Riyanto, 2004. Metodologi Penelitian Social Dan Hukum. Granit, Jakarta.
Badudu, J.S, 2008. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Indrati, Maria Farida, 2007. Ilmu Perundang-undangan I (jenis,fungsi, dan materi muatan). Kanisius,Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2010.  General Theory of  law and state. Nusa Media, Bandung.
Lubis, M. Solly, 1983.Pergeseran Garis Politik Dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah. Alumni, Bandung.
Manan, Bagir, 1990.Hubungan antara pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi menurut UUD 1945. Padjadjaran, Bandung.
MD, Mahfud, 2009. Politik hukum di Indonesia, edisi revisi.Rajawali pers, Jakarta.
Marzuki, Laica M, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″. Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1989. Peraturan Perundang-Undangan Dan Yurisprudensi. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Utrecht, E, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia.penerbit sinar harapan, Jakarta.
Naskah Komprehensif perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2010.Latar belakang, Proses, dan pembahasan 1999-2002, Buku IV kekuasaan pemerintahan Negara jilid II, edisi revisi.Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Putusan Perkara Nomor 81/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Laurence Sullivan, “Hak-hak Kelompok Minoritas Menurut Hukum Internasional dan Otsus”,
Artikel konsep otonomi khusus,
Lihat Artikel, Jakarta Tidak Layak Dapat Otonomi Daerah,



[1] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: penerbit sinar harapan, 1983), Cetakan ke-10 disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang SH, hlm. 342
[2]Hal ini merupakan implikasi dari di keluarkannya Maklumat No. X Tahun 1945, periksa lebih lanjut pada bagian “Dari organis ke pluralistik” dalam bukunya Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Rajawali pers, 2009). Hlm. 40-44.
[3] Bagir Manan, Hubungan antara pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi menurut UUD 1945, (Bandung: Padjadjaran, 1990), hlm. 219
[4] Mahfud MD, Politik…..op,cit.,hlm 108.
[5] M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik Dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, (Bandung:Alumni,1983), hlm  47.
[6] Mahfud MD, Politik…..loc,cit,..hlm 117.
[7]Ibid,.hlm 274.
[8] Lihat Pasal 34 ayat (1)  UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (LN no. 60 Tahun 1999)
[9] Lihat dalam konsideran menimbang huruf (c) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (LN No. 125 Tahun 2004).
[10] Pasal 24 ayat (5), Ibid., (LN No. 125 Tahun 2004).
[11] Hans Kelsen, General Theory of  law and state, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan k-V, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 431.
[12] Laica M . Marzuki,“Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, (Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI).
[13]Moh. Mahfud MD, Politik…loc,cit.
[14]Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-Undangan Dan Yurisprudensi, Cet III,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7-11.
[15] Naskah Komprehensif perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar belakang, Proses, dan pembahasan 1999-2002, Buku IV kekuasaan pemerintahan Negara jilid II, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), Hlm. 1121
[16] Naskah Komprehensif, Ibid,. Hlm. 1207
[17] Naskah Komprehensif, Ibid,. Hlm. 1276
[18] Naskah Komprehensif, Ibid,., hlm. 1182.
[19] Naskah Komprehensif, Ibid,.hlm. 1250
[20] Naskah Komprehensif, Ibid,.hlm. 1262
[21] Laurence Sullivan, “Hak-hak Kelompok Minoritas Menurut Hukum Internasional dan Otsus”, http://www.papuaweb.org/dlib/lap/sullivan/id/hak-minoritas.rtf, diakses tanggal 10 januari 2011.
[22]Ibid.
[23]Artikel konsep otonomi khusus, http://www.fisip.ui.ac.id/papua/images/oziodownload/mansoben.pdf diakses tanggal 28 januari 2011.
[25]Putusan Perkara Nomor 81/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, diputus pada tanggal 2 maret 2011.
[26]Ibid,.tanggal 2 maret 2011.
[27]Ibid,.tanggal 2 maret 2011.
[28]Riyanto Adi, Metodologi Penelitian Social Dan Hukum, (Jakarta Granit, 2004), Hal. 4.
[29]Ibid,..,hlm. 152.
[30] J.S. Badudu, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2008), hlm. 16.
[31] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan I (jenis,fungsi, dan materi muatan), cet. Ke-9, (Yogyakarta:Kanisius,2007), hlm. 23.
[32]Undang-Undang No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN No. 93 tahun 2007).
[33] Undang-undang  No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. (LN No.Tahun 1999).
[34] Undang-Undang No. 29 tahun 2007 tentang pemerintahan provinsi daerah khusus ibukota jakarta sebagai ibukota negara kesatuan Republik Indonesia (LN no. 93 Tahun 2007).
[35] Penjelasan umum paragraph ke-5 dan 6 UU No. 29 Tahun 2007 tentang pemerintahan provinsi daerah khusus ibukota jakarta sebagai ibukota negara kesatuan Republik Indonesia (TLN No. 4744). Hlm. 2.
[36]Lihat Artikel, Jakarta Tidak Layak Dapat Otonomi Daerah,
[37]hasil Amandemen kedua Tahun 2000,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cetakan ke-sebelas, (Jakarta: Sekertariat jenderal dan kepaniteraan  Mahkamah konstitusi RI, 2010), hlm47.
[38]Putusan Perkara Nomor 81/PUU-VIII/2010,..op,cit, diputus pada tanggal 2 maret 2011.

[1]Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas khairun Ternate.