Minggu, 15 Juli 2012

PUTUSAN PENGADILAN YANG BATAL DEMI HUKUM

oleh
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Pasal 197 ayat (1) KUHAP huruf k menyatakan bahwa setiap putusan pemidanaan haruslah memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Tidak dipenuhinya ketentuan demikian, maka menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Istilah “batal demi hukum” dalam teori hukum diartikan sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) dan tidak mempunyai nilai apapun secara hukum (legally null and void), sehingga putusan demikian dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi. Bagaimana mau mengeksekusi kalau putusan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai nilai hukum apapun juga?

Norma Pasal 197 KUHAP belakangan ini menjadi kontroversi setelah mencuatnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 atas terdakwa Parlin Riduansyah, pengusaha asal Banjarmasin, dan Theddy Tengko, Bupati Kepulauan Aru. Keduanya, dalam perkara yang berbeda, dibebaskan oleh pengadilan negeri. Namun karena Jaksa mohon kasasi, MA menjatuhan pidana. Tetapi, putusan kasasi MA tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sahkah putusan MA tersebut, dan dapatkan Jaksa mengeksekusinya? Hakim Agung Djoko Sarwoko mengatakan putusan tersebut tetap sah dan tetap dapat dieksekusi. Alasannya, ketentuan itu hanya berlaku bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak berlaku bagi MA. Ketentuan Pasal 197 itu berada dalam Bab XVI KUHAP yang mengatur pemeriksaan di sidang pengadilan, bukan mahkamah agung. Putusan MA, menurutnya, adalah putusan akhir yang langsung dapat dieksekusi walapun tanpa mencantumkan perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Lagipula, tambahnya, sudah jamak putusan MA tidak mencantumkan ketentuan tersebut, namun eksekusi tetap dilaksanakan.

Saya beda pendapat dengan Djoko Sarwoko. Bab XVI KUHAP itu judulnya “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan”, yang otomatis berlaku pada semua tingkatan peradilan. Memang pemeriksaan di tingkat PN, PT dan MA berbeda sesuai kewenangannya, namun format putusan pengadilan yang bersifat pemidanaan pada tetaplah sama. Ketentuan Pasal 197 KUHAP harus dibaca secara utuh dan sistematik mulai dari Pasal 191 yang berisi bahwa putusan pembebasan dan pemidanaan harus diucapkan dalam sidang terbuka, putusan harus ditandatangani oleh semua majelis dan panitera, yang semuanya berlaku pada semua tingkatan peradilan. Pasal 197 ayat (1) itupun bunyinya “surat putusan pemidanaan” yang bersifat umum, tidak hanya berlaku bagi PN dan PT.Dalam KUHAP malah tidak ada format Putusan Pemidanaan yang khusus berlaku bagi Mahkamah Agung.

Sementara Indriarto Seno Adjie berpendapat, putusan MA yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tetap sah dan dapat dieksekusi karena hal itu hanya kesalahan administratif belaka. Seno Adjie mungkin lupa membaca ketentuan ayat (2) bahwa putusan yang tak mencantumkan hal itu adalah batal demi hukum. Keslahan administrative yang tidak menyebabkan putusan batal demi hukum, seperti dikemukakan dalam penjelasan pasal itu, hanya berlaku bagi Pasal 197 ayat (1) huruf a, e ,f dan h, yang karena kekhilafan atau kekeliruan dalam pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Digunakannya istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang mungkin menimbulkan salah paham. Trimoelja D Soerjadi dalam Kompas (30/5/2012) mengatakan semua putusan telah mempunyai kekuatan eksekutorial jika telah mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pendapat Trimoleya ini tidak benar. Irah-irah demikian hanyalah salah satu syarat sahnya putusan pengadilan, bukan berarti apapun bunyi putusan pengadilan harus dilaksanakan kalau sudah dicantumkan irah-irah itu dalam putusan. Trimoelja mengatakan kewenangan menahan atau tidak menahan itu merupakan kewenangan dikresioner. “Jadi tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka atau terdakwa ditahan” dengan mengaitkannya dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP.

Trimoelja lupa, kewenangan diskreoner menahan atau tidak menahan terkait dengan Pasal 20 ayat (3) KUHAP adalah dalam konteks kewenangan hakim melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Sementara keharusan mencantumkan agar “terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 KUHAP, bukan lagi berada dalam tahap pemeriksaan, namun dalam putusan pemidanaan. Kalau penahanan dikaitkan dengan kepentingan pemeriksaan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) KUHAP memang tidak logis, seperti kata Trimoelja, ada perintah penahanan dalam putusan karena pemeriksaan sudah selesai. Namun maksud perintah “ditahan atau tetap dalam tahanan itu” dalam putusan sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, tidak ada kaitannya dengan penahanan untuk pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) yang dijadikan titik tolak argument Trimoelja.

Berbeda dengan Trimoelja, saya memahami istilah “ditahan atau tetap dalam tahanan” dalam Pasal 197 ayat (1) adalah lain samasekali maknanya dengan penahanan dalam Pasal 20-23 KUHAP, yakni penahanan dalam konteks penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara, yang ada batas waktunya. Sebab jika batas waktu penahahan sudah habis, dan terdakwa sudah dibebaskan dari tahanan, maka perintah “penahanan” sebagaimana diatur dalam Pasal 197 dengan sendirinya menjadi melawan hukum. Maka perintah “penahanan” itu tidak bisa diartikan lain kecuali perintah agar terdakwa yang dijatuhi pidana “ditahan” atau "dieksekusi" untuk menjalani pidana penjara, sesuai bunyi putusan pemidanaan.

Kalau saya memahami bunyi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP seperti di atas, maka dapat dimengerti jika keharusan perintah menahan tidak dicantumkan, maka putusan itu batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi. Tanpa ada perintah untuk memenjarakan terdakwa yang telah dipidana itu, maka atas dasar apakah Jaksa sebagai eksekutor melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 KUHAP?. Itu sama halnya jika dalam putusan tidak dicantumkan identitas terdakwa seperti nama, alamat, kewarganegaraan, pekerjaan dan seterusnya. Siapa yang mau dieksekusi oleh jaksa?*

Kamis, 05 Juli 2012

Masyarakat Anomie di kota Madani (Suatu Catatan anarkisme antar kelompok masyarakat di kota Ternate)

Oleh
Muhammad Tabrani SH

Bentrokan yg terjadi di beberapa kelurahan di kota ternate sangat memprihatinkan dan membuat kita miris, kemudian kita bertanya dalam hati bahwa apakah memang benar cara-cara penyelesaian masalah yang tidak beradab seperti itu masih di praktekan pada zaman modern seperti sekarang ini. Lalu kemana tatanan nilai masyarakat madani ( civil society) yang menjadi semboyan dari kota tercinta ini? Apakah masyarakat madani hanya sekedar semboyan manis belaka tanpa implementasi? Kalau meminjam terminologi Christopher Bryant, masyarakat madani (civil society) ialah sebagai sebuah masyarakat yang memiliki peradaban (civility) yang membedakan dari masyarakat yang tidak beradab atau barbarian. Komponen dari civil society salah satunya di tandai dengan adanya arena public otonom yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Namun hal itu tidak kita lihat dalam dinamika social interaction di kota Ternate??
Pertikaian yang menelan korban jiwa maupun luka-luka yang terjadi antara kelurahan mangga dua vs ubo-ubo, tafure vs dufa-dufa dan toboko vs mangga dua baru-baru ini adalah penegas bahwa sisa-sisa perilaku era transisi akhir dekade1990-an masih dilakoni oleh sebagian masyarakat kita. Pada era itu, fenomena anarkisme begitu marak dan merebak dibanyak tempat di seantero negeri. Peristiwa itu masih menyisakan perasaan traumatis hingga kini. Apakah perkembangan anarkisme akhir-akhir ini merupakan puncak gunung es dari potensi anarkisme lebih besar dan masih dibwah permukaan? Praktek kekerasan sebagaimana pernah di catat oleh Bermanzhon, ungar dan Worcester pada umumnya merupakan pengalaman negeri yang sedang mengalami transisi rezim. Pada periode transisi, karakter social biasanya ditandai dengan meningkatnya agresivitas dan vandalisme. Ini merupakan situasi masyarakat seolah tidak memiliki Negara dan norma hukum (stateless dan lawless society). Hasil riset Robert Gurr misalnya, pernah mengungkapkan bahwa konflik etnik di berbagai Negara selama dekade 1960-an hingga 1990-an sering terjadi pada fase pemerintahan transisional.
Masyarakat pada fase transisi, menggunakan terminologi Emile Durkheim, adalah masyarakat Anomie, yaitu situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban social. Anomie muncul karena tatanan lama mengalami anakronisme sementara tatanan baru belum selesai dibentuk untuk ditaati. Ini adalah ruang kosong tumbuh suburnya anarkisme social. Namun sesungguhnya kota ternate dan pada umumnya Indonesia sudah tidak lagi dalam masa transisi karena kita telah melewatiya. Kita telah melangkah maju pada fase instalasi dan konsolidasi demokrasi lewat serangkaian reformasi baik reformasi kelembagaan pemerintahan maupun reformasi konstitusi.

Lemahnya kepercayaan 
 
Masih Sering terjadinya anarkisme massa menunjukan bahwa satu kaki kita masih tertinggal pada fase transisi, sedangkan satu kaki kita telah melangkah pada fase konsolidasi demokrasi. Yang seyogyanya ditandai dengan kultur demokrasi yang beradab. Ini adalah anomali fase transisi dan konsolidasi demokrasi yang menunjukan bahwa ada keterluputan kita dalam proses demokratisasi yang kita tempuh selama ini. Sedikitnya ada tiga penyebabnya.Pertama, proses demokrasi kita selama ini cenderung fokus pada aspek perangkat keras (hardwere) demokrasi.Akan tetapi kita lupa tentang pentingnya aspek perangkat lunak (softwere) demokrasi.Kita lebih mendahulukan urgensi restrukturisasi kelembagaan Negara dan reformasi konstitusi serta pembangunan yang bersifat materiil sembari menegasikan pentingnya edukasi nilai-nilai dan prinsip berdemokrasi.
Bangunan demokrasi juga tidak hanya mensyaratkan adanya mekanismechecks and balances untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan tapi juga membutuhkan modal social untuk menyemai high-trust society. Seperti di tegaskan oleh francis fukuyama, Trust adalah unsur penting dalam praktik demokrasi dan hubungan social antar masyarakat. Anarkisme hanya akan merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi serta berindikasi low-trust society. Kedua, kehidupan social kita tidak sepenuhnya di tunjang oleh hukum sebagai panglima. Potret penegakan hukum kita masih compang-camping, institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan mengalami krisis kepercayaan akut oleh masyarakat. Jangan heran jika ada gerombolan massa melempari dan mengacungkan senjata tajam ke arah polisi. Tindakan main hakim sendiri dan ekspresi anarkisme secara melawan hukum merupakan puncak gunung es terhadap krisis kepercayaan terhadap hukum. Ketiga, institusi demokrasi seperti legislatif dan eksekutif tidak diyakini sebagai representasi dari kepentingan public sehingga public tidak memosisikan sebagai jalur mediasi penyelesaian masalah mereka. Ini terutama disebabkan aktor-aktor Negara pada institusi demokrasi tersebut sering mendemonstrasikan teladan-teladan negatif terhadap publik.

Ketegasan merupakan keniscayaan

Perilaku-perilaku negatif dari pejabat Negara juga mendorong masyarakat melakukan kekerasan, hal itu menunjukan bahwa institusi demokrasi tidak mampu berperan sebagai kanalisasi embrio anarkisme. Namun, terlepas dari semua itu. Bagaimanapun tindakan tegas terhadap pelaku anarkisme harus dilakukan untuk menunjukan bahwa Negara ada dan Negara tidak boleh kalah oleh kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini bertujuan guna mengembalikan kewibawaan Negara agar tidak dilecehkan. Selain itu juga, aspek preventif jangka panjang terhadap anarkisme perlu juga dilakukan dengan jalan menabur benih-benih modal social, menjadikan hukum sebagai panglima, dan membuat institusi demokrasi berfungsi dan dipercaya.

Strategi “Tiki Taka” El Barca dan Upaya Pemberantasan Korupsi

Oleh
Muhammad Tabrani SH[1]

Siapa yang tidak tahu tentang El Barca sebutan FC Barcelona. Tim sepakbola yang berasal dari wilayah Catalonia Spanyol ini bisa dikatakan sebagai tim sepakbola terbaik dunia pada saat ini. Barcelona mempunyai penyerang seperti Messi dan gelandang kreatif seperti Iniesta dan Xavi. Barcelona punya pelatih seorang Joseph Guardiola, punya taktik dengan nama “Tiki-Taka”, dan punya kerja-sama Tim yang terbaik di dunia.[2]
Apabila diperhatikan strategi Tiki-Taka mempunyai konsep Cepat, kreatif tapi Sabar. Cepat artinya perpindahan bola dari kaki ke kaki bisa terjadi dalam seper sekian detik. Kreatif artinya harus memiliki Pemain tengah kreatif seperti Xavi dan Iniesta yang secara skill individu di atas rata-rata, Tiki-Taka mampu mengalirkan bola dari satu pemain ke pemain lain, dari sisi kiri sampai sisi kanan dengan akurasi passing diatas 80%. sehingga mampu menguasai bola dengan rata-rata 70% dalam setiap pertandingan. Sabar artinya tidak terburu-buru, pemain Tiki-Taka tidak berambisi untuk langsung menekan ke daerah pertahanan lawan. bahkan tidak jarang bola dialirkan kebelakang untuk berpindah sisi. Agak kontras memang, pergerakan bola yang cepat tidak dibarengi dengan serangan yang frontal.tapi justru itu adalah kuncinya sehingga strategi ini mampu membuat pemain lawan kehilangan semangat, jenuh, emosi dan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang tidak perlu untuk menghentikan penguasaan bola.[3] Gaya permainan seperti ini bukan hanya membuat pemain lawan frustasi tapi dapat berdampak buruk Tiki-Taka juga kepada Pelatih lawan. Lalu apa hubungan strategi Tiki-Taka Barcelona dengan kiat Pemberantasan Korupsi di Indonesia?Tulisan ini mencoba mendiskripsikan korelasi antara keduanya.

Korupsi : Sebab dan Akibat
            Korupsi telah menjadi penyakit masyarakat yang sukar sekali disembuhkan, bahkan aparatur Negara yang ditugasi oleh Peraturan perundang-undangan untuk memerangi korupsi malah terjangkit virus korupsi itu sendiri. Kenyataan ini membuat Publik bertanya apakah penyakit korupsi dapat disembuhkan?atau memang korupsi ini merupakan penyakit akut masyarakat yang telah terkondisikan secara historis sehingga sukar sekali diberangus? contoh kecil misalnya di Provinsi Maluku Utara hampir setiap hari ketika membaca, mendengar melalui media memberitakan tentang kasus korupsi rumput laut, korupsi DTT, korupsi pengadaan Proyek, korupsi ini korupsi itu. Dan yang lebih menggelitik hati publik ialah kasus-kasus korupsi yang diberitakan terus-menerus itu tidak pernah diselesaikan secara tuntas oleh para penegak hukum???
            Namun, memang harus disadari bahwa fenomena korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi merupakan masalah global dan semua Bangsa dan Negara di dunia tanpa terkecuali baik itu Negara berkembang maupun Negara maju merasakan impact-nya.derajat korupsi di berbagai Negara berbeda-beda sesuai dengan aneka macam faktor dan sebab yang rumit sejalan dengan kompleksitasnya sejarah dan budaya bangsa-bangsa yang bersangkutan. Susan Rose-Ackerman[4] mengungkapkan ada beberapa penyebab umum korupsi tumbuh begitu subur dibeberapa Negara termasuk Indonesia.yaitu (1) investasi Negara tidak Produktif dan ilegal, (2) rendahnya moral disebabkan kurang berfungsinya pranata-pranata sosial dan agama sehingga terlibat dalam bisnis ilegal dan mafia, (3) kemiskinan sebagai stimulun permanen, (4) budaya hadiah (fee) untuk mencari keuntungan tanpa dasar menjadi wajar, (5) hak kepemilikan yang terlalu besar kepada Administrasif, (6) aturan hukum membuka keleluasaan open intrepetative oleh pejabat sesuai dengan kepentingan serta abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Hal tersebut mengakibatkan antara laininefisiensi dan ketidaksetaraan di bidang ekonomi seperti naiknya pajak karena pendapatan Negara melalui pasar kompetitif berkurang, mengurangi legitimacy dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan serta menciptakan Pasar tidak kompetitif, tidak pasti dibandingkan dengan Pasar terbuka.[5] Selain itu juga dampaknya secara social budaya antara lain Tradisi Suap, Patronase, hadiah yang bersifat Quid pro quo (timbal balik) terhadap keuntungan yang besar dan dampak yang parah bagi masyarakat serta merugikan perekonomian Negara.
            Untuk menanggulangi masalah korupsi, diberbagai Negara-negara di dunia memiliki cara yang berbeda-beda namun kiranya tujuannya sama yakni meminimalisir kejahatan tersebut. Meminimalisir korupsi merupakan langkah yang paling rasional untuk mengatasinya karena korupsi adalah produk budaya masyarakat yang sangat tua seumuran dengan prostitusi dan perjudian.oleh sebab itu, mustahil ketika mengharapkan kejahatan ini berada pada titik nol.Sedangkan cara paling umum yang dilakukan Negara dalam mengurangi insentif korupsi yaitu dengan jalan reformasi dan pilihan pertimbangan reformasi di Negara demokrasi biasanya meliputi reformasi program publik, reformasi administratif, eliminasi program serta efek pencegah dari UU antikorupsi.[6]akan tetapi fakta menunjukan reformasi saja tidak cukup karena cara-cara demokratis tidak selalu dapat menjadi obat terhadap korupsi. dibutuhkantaktik-taktik extra-ordinary sebab korupsi merupakan extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa) sehingga membutuhkan strategi dan upaya yang extra-ordinary pula.

Out of the box
            Upaya extra-ordinary yang dimaksud disini bukan hanya mempertegas regulasi dan reformasi struktural belaka tapi perlu strategi lain yang tidak biasa. jika kita mau belajar dari filosofi permainan sepakbola, hal itupun tidak kalah pentingnya. dalam permainan sepakbola strategi memiliki peran yang urgen selain juga memiliki pemain yang bagus, dan pada konsteks ini kita membicarakan strategi “Tiki Taka” ala Barcelona.
            Dalam strategi “Tiki Taka” Barcelona memiliki pemain cepat, berskill tinggi dan berkarakter seperti Messi, Alexis, Pedro, dan Fabregas yang memiliki peranan memainkan bola dan berlari dengan cepat menusuk kejantung pertahanan yang sulit diatasi oleh pemain belakang lawan.Sama halnya juga aktor-aktor dalam upaya pemberantasan korupsi seperti komisioner KPK, Polisi, Jaksa, Hakim haruslah orang-orang yang memiliki kompetensi/skill yang mumpuni dibidang itu, berani bertindak cepat dan memiliki karakter yang kuat bak Striker maut sehingga ditakuti oleh para koruptor, bandit dan mafia.
            Strategi ini selain mengandalkan permainan cepat tetapi juga kreatifitas dan sabar memainkan bola membuat pemain lawan kehilangan semangat dan jenuh dengan permainan mereka. Barcelona memiliki gelandang kreatif, imajinatif seperti Xavi dan Iniesta dalam menjalankan taktik itu. Berbeda dengan Messi yang bermain cepat ala pemain latin, Xavi dan Iniesta lebih sabar mengalirkan bola dengan teknik tinggi memanfaatkan lebar lapangan dari sisi kiri sampai sisi kanan sehingga menambah irama permainan Barcelona. Gaya seperti ini terbukti melemahkan dan membuyarkan konsentrasi pemain lawan.Penegak hukum khususnya komisioner KPK harus sadar dari awal bahwa mereka menghadapi koruptor yang intelek. KPK membutuhkan komisioner dan penyidik yang kreatif, imajinatif, berpikir out of the box (mampu menabrak “tabu”) kekakuan birokrasi, sigap menghadapi serangan balik dari para koruptor serta sabar melihat peluang guna pencegahan korupsi seperti halnya Xavi dan Iniesta.
            Pendekatan Good Gevernance yang digaungkan Pemerintah melawan korupsi selama ini memiliki sayap menciptakan birokrat dan Politisi yang semakin Pintar dalam menyembunyikan aksi korupsinya. Bahkan politikus licik mampu menunggangi Good Gevernance hanya untuk meningkatkan popularitas dan Posisi politiknya.Lebih parahnya pendekatan ini juga menstimulasi terbentuknya konsolidasi kekuatan antara Politisi berhati busuk dengan Pengusaha hitam.Buah dari perselingkuhan ini melahirkan bentuk korupsi yang canggih dan sulit diberangus. Melawan pola korupsi seperti ini tidak cukup ditangani dengan cara konvesional.[7] Korupsi yang canggih harus dilawan dengan strategi yang tak kalah canggih yang hanya bisa datang dari otak yang kreatif dan imajinatif.
Jika di dunia sepakbola, sebuah tim besar membutuhkan dukungan dari para Fans fanatiknya. Sama halnya juga dalam pemberantasan korupsi. Para penegak hukum baik itu KPK, Polisi, Jaksa membutuhkan orang-orang kreatif yang mampu membangun aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan diluarnya.Seperti komunitas akar rumput, para anak muda, seniman serta seluruh stakeholder untuk mengembangkan strategi bersama yang efektif melawan korupsi yang menyamai “Tiki Taka” ala El Barca.
Sampai saat ini,holly war (perang suci) melawan korupsi masih terus berlangsung. Perang jenis ini hanya memihak kepada mereka yang memiliki kecerdikan, kerjasama tim, dan daya juang tinggi. Sehubungan dengan itu, (Alm) Satjipto Rahardjo pernah menegaskan bahwa kondisi darurat Korupsi di Indonesia membutuhkan orang-orang yang luar biasa, dengan sikap yang luar biasa untuk menghadapi kejahatan luar biasa itu. Apakah hal itu dapat terwujud?yang pasti optimisme dan harapan tidak pernah akan hilang dari kita semua. Semoga..!!!


[1] Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

[2]Diolah dari http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/01/16/barcelona-sebenarnya-memang-bisa-ditaklukkan/ , tanggal akses 1 April 2012.

[3]Diolah dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=239734719397951, tanggal akses 1 April 2012

[4]Susan Rose-Ackerman, Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, Akibat dan Reformasi, judul Asli (Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform) diterjemahkan oleh Toenggoel P. Siagian, cet-II, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2010), hlm. 4

[5]Ibid,.

[6]Ibid,.hlm. 55.

[7]Frengky Simanjuntak, “The Green Lantern” dan pansel KPK, surat kabar Kompas edisi Juni 2011.