Sabtu, 30 Juni 2012

OTONOMI KHUSUS SEBAGAI SOLUSI MASALAH DESENTRALISASI DI MALUKU UTARA, BUKAN PEMEKARAN!


 Oleh
Muh. Tabrani Mutalib SH.

“otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan, tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan daripada riwayat dan sifat daerah lain. Berhubung dengan itu menurut pendapatnya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model”.( Soepomo)
Konsep otonomi khusus atau oleh pakar Politik menyebutnya Desentralisasi asimetris (AsymmetricalDecentralization) merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar daerah tersebut.Atau juga sering diartikan desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah Negara dengan mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah. konsep otsus (otonomi khusus) secara hukum (legal-formal) di akomodir dalam ketentuan UUD 1945 pasal 18 B ayat (1) dan (2), dan Di Indonesia sendiri Konsep tersebut sebenarnya sudah mulai dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi khusus seperti Papua dan NAD, Jakarta dan Yogyakarta.latarbelakang diberikan otonomi khususkepada daerah-daerah tertentu sesungguhnya tidak terlepas dari alasan Politis Pemerintah pusat yang tujuan akhirnya untuk melindungi dan menjamin keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya sebagai lembaga penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution) dalam Putusannya (No. 81/Puu-Vii/2010) menilai bahwa penetapan nama suatu daerah menjadi daerah istmewa dan daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda. Suatu daerah ditetapkansebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.Jadi putusan MK tersebut memberikan kita penjelasan tentang ruang lingkup dan jenis otsus yang ditetapkan melalui UU terkait.



BEBERAPA PERSOALAN TERKAIT OTODA MALUKU UTARA
Maluku Utara (North Moluccas) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang setelah reformasi dimekarkan menjadi sebuah provinsi terlepas dari daerah induk atau sebelumnya tergabung dengan Provinsi Maluku yang beribukota di Ambon.Daerah ini sejak dulu atau sekitar abad ke-15 dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang sangat kaya. Hal itu di yakini oleh masyarakat Malut  sebagai salah satu faktormengapa orang-orang Eropa datang menjajah bangsa Indonesia. Selain kaya akan sumber daya alamnya Maluku utara juga kaya akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam. Dari catatan sejarah sebelum Indonesia merdeka Malut adalah Negara-negara yang berdaulat dibawah kekuasaan kesultanan-kesultanan.Ada sekitar 4 Kesultanan (kerajaan) yang berkuasa dan berpengaruh sampai saat ini di Malut ialah Kesultanan Ternate, kesultanan Tidore, Kesultanan jailolo dan kesultanan Bacan serta terdiri juga dari berbagai suku/etnis yaitu suku Ternate, Tidore,Tobelo, Galela, Sahu, makian,sanana dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan. bandingkan dengan DIY yang hanya memiliki sebuah kesultanan dan sebuah pakualaman serta hanya terdiri dari satu etnis saja yaitu etnis Jawa. Malut lebih atau sarat akan keberagaman dan tatanan social local. Maka tidak mengherankan jika van vollenhoven, seorang pakar hukum adat dari belanda mencatat bahwa Maluku Utara ialah salah satu wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat adat di Indonesia (dulu Hindia belanda). Pada saat kemerdekaan, Malut bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia dan  berkedudukan sebagai sebuah residen (residen ternate). Sampai dimekarkan menjadi sebuah daerah Provinsi pada Masa Pemerintahan Presiden BJ.Habibie pada tahun 1999. Namun, Sejakdimekarkan dan sampai ini kepulauan yang kaya akanrempah-rempah itu masih tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Berdasarkan jajak pendapat Koran kompas terhadap otonomi daerah Maluku Utara pada tahun 2010 lalu, memberikan gambaran kepada kita bahwa kendala infrastruktur wilayah dan belum terkonsolidasinya berbagai potensi pembangunan di Maluku Utara menyebabkan hasil otonomi daerah selama ini belum mampu mengatasi kemiskinan dan mengangkat nasib rakyat di provinsi kepulauan ini. Salah satu indikator lambatnya laju pembangunan kesejahteraan di Malut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif rendah. Sebagaimana yang dilansir Litbang kompas angka IPM MALUT tahun 2008 adalah 68,18 %, di bawah IPM Nasional sebesar 71,17 %. Jika di bandingkan dengan IPM di provinsi lain pada tahun 2008, MALUT berada di peringkat bawah, yakni ke-28 dari 33 Provinsi. Hanya Kota Ternate yang memiliki IPM di atas angka Nasional dan pertumbuhannya mencapai 6 % selama Tahun 2002-2008.Halmahera barat dan Halmahera tengah hanya bertumbuh 3-4% selama periode itu. Bandingkan dengan Pertumbuhan IPM Nasional yang mencapai 8,2 % pada periode yang sama. Jajak pendapat Kompas juga mengungkap, secara umum separuh lebih responden (50,6 %) Malut menilai pelaksanaan otonomi daerah dan pemekaran wilayah belum memenuhi harapan masyarakat. Yang menilai sudah memenuhi sebanyak 43,9% responden. Di lihat dari asal daerah penduduk asli merasa kurang memenuhi harapan ketimbang pendatang.Selain itu, konsentrasi penduduk, pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi terpusat dan dominan terdapat di Ternate di bandingkan dengan wilayah lain di kepulauan rempah-rempah ini.
Menurut Asghar Saleh, Wakil ketua fraksi partai Golkar DPRD kota Ternate, Pemerintah Provinsi Malut belum berbuat banyak selama otonomi daerah.”apabila seluruh hasil pembangunan di Tidore dan Ternate yang ada di zaman sebelum pemekaran itu diangkat, Malut itu kosong, tidak punya apa-apa”(kompas :2010). Lambatnya perkembangan Malut pascaotonomi daerah ini juga bisa dirunut dari sejarah konflik horizontal tahun 1999.Konflik ini berlarut-larut dan baru benar-benar selesai tahun 2005.Akibatnya pertumbuhan ekonomi di Malut pada periode 1999-2004 turun sampai 15 persen. Persoalan lain yang menjadi hambatan pembangunan ialah minimnya investasi. Berdasarkan data Bappeda Malut tahun 2010, realisasi investasi kecil jika di bandingkan daerah lain, hanya 3,32 % untuk penanaman modal asing dengan nilai 233 juta dolar AS dan 5,24 % atau sebesar Rp. 193 miliar untuk penanam modal dalam Negeri.Hal itu juga di perparah oleh perilaku-perilaku koruptif dan kleptokratif dari oknum-oknum pejabat daerah yang menyebabkan Otonomi daerah seakan berjalan di tempat.
PEMEKARAN YANG SALAH ARAH
Melihat lambatnya pembangunan otonomi daerah di wilayah Malut, beberapa elit lokal  mewacanakan dan memperjuangkan  tuntutan pemekaran daerah-daerah baru Malut khususnya di wilayah Halmahera. Namun menurut penulis langkah itu kurang tepat, karena hal tersebut tidak secara otomatis menyelesaikan persoalan-persoalan menyangkutotonomi daerah selama ini bahkan sebaliknya,malah memperparah keadaan. Berkaca dari pengalaman pemekaran sejak era reformasi sudah sekitar  489 kabupaten/kota dari 33 provinsi yang terbentuk. Penambahan daerah ini dimulai pada tahun 1999. Sampai tahun 2008, sudah ada penambahan 191 Daerah Otonom Baru (DOB). Rinciannya, tahun 1999 sebanyak 45 DOB, tahun 2000 sebanyak tiga DOB, tahun 2001 sebanyak 12 DOB, tahun 2002 sebanyak 38 DOB, tahun 2003 sebanyak 49 DOB, tahun 2004 sebanyak 1 DOB, pada tahun 2007 sebanyak 25 DOB dan tahun 2008 sebanyak 18 daerah pemekaran, dan tahun 2009 sudah ada 2 DOB. Dengan demikian, sampai akhir 2009 di Indonesia  terdapat 33 provinsi, 396 kabupaten, dan 93 kota. Jumlah ini akan terus meningkat seiring masih berkembangnya tuntutan daerah untuk dapat dimekarkan. Data diatas menunjukan kepada kita bahwa pemekaran pemerintah daerah telah menimbulkan tekanan terhadap APBN akibat adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru.
selama kurun waktu 2008. Departemen Dalam Negeri dalam evaluasinya menyebutkan 104 daerah (lima provinsi dan 97 kabupaten) pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2004, sekitar 76 di antaranya masih bermasalah. Berbagai macam masalah yang timbul, dari mulai aset daerah induk yang belum diserahkan ke daerah pemekaran sampai letak ibu kota yang masih belum pasti. Penjelasan pada awal 2005 dari Depdagri, beberapa persoalan yang muncul diantaranya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.
Hasil penelitian Badan Dunia untuk Program Pembangunan (United Nations Development Program - UNDP) dan Bappenas menemukan setelah lima tahun dimekarkan, kondisi daerah otonom baru masih berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Penduduk miskin menjadi terkonsentrasi di daerah otonom baru. Hasil evaluasi UNDP dan Bappenas menyebutkan, kondisi daerah-daerah pemekaran lebih buruk dibandingkan dengan daerah induk. Studi tersebut juga menemukan, penyebab kondisi tersebut didominasi keterbatasan sumber daya alam dan manusia daerah pemekaran. Hasil penelitian yang dirilis Juli 2008 menyimpulkan tentang kegagalan pemekaran daerah. Sebagai perbandingan, Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat provinsi menjadi delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah baru dan lama. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat. Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih buruk dibanding sebelum pemekaran.
Menurut Saldi Isra, guru besar Hukum Tata negara Universitas andalas bahwa ”Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, akhirnya secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah.” Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, Sehingga yang terjadi pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan elite nasional dan elite lokal.
DESENTRALISASI ASIMETRIS SEBAGAI SOLUSI
Berangkatdari asumsidan hasil-hasil penelitian diatas terkait kondisi demografi dan kondisi sosial ekonomi provinsi Malut serta adanya kelemahan-kelemahan Pemekaran daerah, dapat di tarik tiga kesimpulan. Yang pertama, Daerah Maluku utaraialah daerah yang sarat akan keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam serta aspek kesejarahan yang tidak kalah penting dengan Daerah lainnya di Indonesia. Kedua, penerapan otoda Malut sampai saat ini belum menunjukan peningkatan yang signifikan guna tercapainya kesejahteraan rakyat Malut. Ketiga, Pemekaran daerah telah melenceng dari tujuan awal, bukan sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat di daerah dan pembelajaran Demokrasi di tingkat lokal tetapi malah dimanipulasi secara koruptif demi kepentingan segelintir elit lokal. Sejalan dengan kesimpulan tersebut di atas, maka perlu dipikirkan mengenai langkah alternatif atau formula baru untuk mengatasi hal tersebut. Alternatif yang di maksud adalah Penerapan Otonomi khusus (desentralisasi asimetris) di Maluku utara. Timbul pertanyaan apakah Malut memenuhi syarat untuk diberikan otsus? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu di uraikan tentang kriteria daerah istimewa dan daerah khusus berdasarkan Tafsir MK. Seperti yang di singgung di atassuatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal-usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya NKRI.Jika Disingkronisasikan syarat itu.Maka Malut memenuhi kriteria karena Daerah Maluku utara  memiliki  keberagaman budaya dan adat istiadat serta asal-usul kesejarahan Malut telah ada jauh sejak ratusan tahun lalu sebelum para founding fathers bermimpi untuk mendirikan Negara Indonesia. Yang kedua tafsir MK tentang daerah khusus terkait dengan kenyataan dan kebutuhan Politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Jika Disingkronisasikan, maka Malut juga memenuhi syarat karena situasi sosial politik di Malut pasca konflik horizontal dan pembangunan otonomi daerah yang mandek serta kondisi geografis Malut yang terdiri dari pulau-pulau yang terpisah satu sama lain memerlukan suatu kebijakan yang bersifat khusus untuk menagkomodir semua hal itu. Oleh karena itu, dari berbagai upaya yang diperlukanuntuk mengatasi masalah-masalah desentralisasi di Malut. Dapat dikatakan bahwa Desentralisasi asimetris (otsus) sebagai solusi hal tersebut bukan Pemekaran daerah baru…!!?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar