Selasa, 19 Juni 2012

“MALA IN SE” DAN “MALA PROHIBITA”

by Muhammad Tabrani Mutalib SH


Dalam Hukum positif dikenal istilah hukum “Mala In Se” dan “Mala Prohibita”. Yang pertama dapat diartikan sebagai perbuatan yang dengan sendirinya dianggap jahat (dari asal—usulnya merupakan Delik) sedangkan yang kedua, diartikan bahwa perbuatan yang dianggap jahat hanya karena perbuatan tersebut dilarang oleh suatu tatanan sosialpositif (peraturan per-UU-an). Tulisan ini bermaksud sebagai sentuhan untuk membedakan dan memahami kembali kedua istilah hukum tersebut di atas.
Delik apabila dipahami berdasarkan pengertiannya yang paling luas merupakan perbuatan yang merugikan. danSanksi dibuat sebagai konsekuensi dari satu perbuatan yang dianggap merugikan masyarakat dan harus dihindari menurut maksud dari tatanan hukum.[1]Secara teori “maksud dari tatanan hukum” sama artinya dengan “tujuan dari pembuat Undang-Undang”. Oleh sebab itu, maksud dan tujuan harus diwujudkan dalam isi dari tatanan hukum itu sendiri (misalnya dalam KUH Pidana). Kalau tidak, konsep delik tidak akan berupa konsep hukum.
Dari sudut pandang ini, delik adalah suatu kondisi atau syarat bagi diberlakukannya sanksi oleh norma hukum. dimana perbuatan seseorang dapat dinyatakan sebagai suatu delik (kejahatan) apabila suatu tatanan hukum (peraturan per-UU) melekatkan suatu sanksi sebagai konsekuensi terhadap perbuatan tersebut. Dengan kata lain suatu norma hukum dapat dilekati oleh sanksi/ pemaksa secara fisik yang dilaksanakan oleh aparat Negara (Polisi, jaksa, hakim) sedangkan selain norma hukum tidak dapat dilekati oleh sanksi. Hal inilah yang membedakan norma hukum dari Norma-norma lainnya (norma moral, adat, agama…dsb).Seorang ahli mahzab Realisme hukum asal Amerika,  Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau peraturan dan setiap peraturan hukum mengandung sebuah statemen mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum. Konsekuensi-konsekuensi ini berupa sanksi-sanksi­­­­– janji-janji atau ancaman.[2]yang hakekatnya dibagi menjadi dua bagian, imbalan (sanksi Positif) dan hukuman (sanksi negatif).[3]sekarang kembali kepada pokok masalah, muncul pertanyaan. apakah suatu perbuatan misalnya Pembunuhan, gratifikasi atau korupsi ialah perbuatan dari semula merupakan kejahatan (Mala In Se)? ataukah perbuatan-perbutan tersebut dianggap suatu kejahatan bila terlebih dahulu ditetapkan oleh peraturan hukum sebagai suatu kejahatan (Mala Prohibita)?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu saya kemukakan terlebih dahulu pendapat John Austin yang mengungkapkan bahwa perbedaan antara Mala In Se dan Mala Prohibita tidak dapat dipertahankan di dalam teori hukum Positif. karena perbedaan ini merupakan unsur khas dari dokrin hukum alam.[4]Selanjutnya menurut, Austin perbedaan ini lahir dari asumsi–yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah–bahwa bentuk-bentuk perbuatan tertentu menurut sifatnya merupakan delik. Sehingga ia menyimpulkan bahwa pertanyaan tersebut di atas hanya bisa dijawab berdasarkan tatanan hukum tertentu bukan dengan menganalisa perbuatan tersebut merupakan delik atau tidak. Misalnya, perbuatan pembunuhan atau Gratifikasi (pemberian hadiah). Pembunuhan pada masyarakat modern merupakan perbuatan yang tercela dan sangat keji. Akan Tetapi, dibeberapa masyarakat tradisional diberbagai daerah di Indonesia Perbuatan membunuh orang lain yang menghamili anggota keluarganya atau kehormatannya bukan merupakan kejahatan sebagaimana yang dimaksud pada masyarakat modern melainkan pembalasan/penegakan aturan moral di masyarakat. Kemudian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara, di Indonesia dikategorikan sebagai penyuapan. namun hal itu tidak berlangsung di Cina. Masyarakat Cina dengan budaya khasnya menganggap pemberian hadiah berupa Ampao dll kepada pejabat publik bukan merupakan delik penyuapan melainkan sebagai saran menyarlurkan kedermawanan/keikhlasan seseorang berbagi kepada orang lain. dengan demikian, tatanan hukum dan budaya yang berbeda-beda pada masyarakat yang berbeda telah menggolongkan perbuatan tertentu sebagai delik atau bukan delik yang berbeda pula. Berdasarkan fakta di atas, maka tipe-tipe perbuatan tertentu disebut delik jika tidak hanya dicela oleh hukum positif tetapi juga dicela oleh sistem moral yang diasumsikan sebagai Mala In Semungkin tidak benar.
Jika memang demikian, lantas muncul pertanyaan,  bagaimana konsep delik didefinisikan dalam suatu teori hukum positif? Jawabannya cukup sederhana, yaitu tentu saja pembuat UU harus terlebih dahulu menilai bahwa jenis perbuatan tertentu merupakan perbuatan yang bersifat malum (merugikan) masyarakat atau kepentingan umum sebelum melekatkan sanksi kepadanya. Oleh karena itu, dari sudut pandang di atas, tidak ada Mala In Se, yang ada hanyalah Mala Prohibita. Sebab suatu perbuatan baru dinyatakan sebagai  malum atau delik jika perbuatan itu Prohibitum atau dilarang. Hal ini tidak lain merupakan konsekuensi dari azas-azas yang diterima secara umum dalam teori hukum pidana yaitumulia pona sine lege, nullum crimen sine lege.[5] (tiada sanksi tanpa suatu norma hukum yang memberikan sanksi ini, tiada delik tanpa norma hukum yang menetapkan delik tersebut).
Namun, tentu saja secemerlang apapun gagasan-gagasan. dalam kazanah keilmuan hukum dua hal tersebut di atas akan terus diperdebatkan. dan hal itulah merupakan daya tarik dari ilmu hukum itu sendiri.Salam..!


[1] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Judul asli General Theory of law and State, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan ke-V, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 74.
[2] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Judul asli The Legal system: A Social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, cetakan ke-III, (Bandung: Nusa Media,2009), hlm. 93.
[3]Ibid, hlm. 101.
[4] John Austin dalam Hans Kelsen, Teori…loc,cit, hlm. 75.
[5]Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar