Kamis, 05 Juli 2012

Masyarakat Anomie di kota Madani (Suatu Catatan anarkisme antar kelompok masyarakat di kota Ternate)

Oleh
Muhammad Tabrani SH

Bentrokan yg terjadi di beberapa kelurahan di kota ternate sangat memprihatinkan dan membuat kita miris, kemudian kita bertanya dalam hati bahwa apakah memang benar cara-cara penyelesaian masalah yang tidak beradab seperti itu masih di praktekan pada zaman modern seperti sekarang ini. Lalu kemana tatanan nilai masyarakat madani ( civil society) yang menjadi semboyan dari kota tercinta ini? Apakah masyarakat madani hanya sekedar semboyan manis belaka tanpa implementasi? Kalau meminjam terminologi Christopher Bryant, masyarakat madani (civil society) ialah sebagai sebuah masyarakat yang memiliki peradaban (civility) yang membedakan dari masyarakat yang tidak beradab atau barbarian. Komponen dari civil society salah satunya di tandai dengan adanya arena public otonom yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Namun hal itu tidak kita lihat dalam dinamika social interaction di kota Ternate??
Pertikaian yang menelan korban jiwa maupun luka-luka yang terjadi antara kelurahan mangga dua vs ubo-ubo, tafure vs dufa-dufa dan toboko vs mangga dua baru-baru ini adalah penegas bahwa sisa-sisa perilaku era transisi akhir dekade1990-an masih dilakoni oleh sebagian masyarakat kita. Pada era itu, fenomena anarkisme begitu marak dan merebak dibanyak tempat di seantero negeri. Peristiwa itu masih menyisakan perasaan traumatis hingga kini. Apakah perkembangan anarkisme akhir-akhir ini merupakan puncak gunung es dari potensi anarkisme lebih besar dan masih dibwah permukaan? Praktek kekerasan sebagaimana pernah di catat oleh Bermanzhon, ungar dan Worcester pada umumnya merupakan pengalaman negeri yang sedang mengalami transisi rezim. Pada periode transisi, karakter social biasanya ditandai dengan meningkatnya agresivitas dan vandalisme. Ini merupakan situasi masyarakat seolah tidak memiliki Negara dan norma hukum (stateless dan lawless society). Hasil riset Robert Gurr misalnya, pernah mengungkapkan bahwa konflik etnik di berbagai Negara selama dekade 1960-an hingga 1990-an sering terjadi pada fase pemerintahan transisional.
Masyarakat pada fase transisi, menggunakan terminologi Emile Durkheim, adalah masyarakat Anomie, yaitu situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban social. Anomie muncul karena tatanan lama mengalami anakronisme sementara tatanan baru belum selesai dibentuk untuk ditaati. Ini adalah ruang kosong tumbuh suburnya anarkisme social. Namun sesungguhnya kota ternate dan pada umumnya Indonesia sudah tidak lagi dalam masa transisi karena kita telah melewatiya. Kita telah melangkah maju pada fase instalasi dan konsolidasi demokrasi lewat serangkaian reformasi baik reformasi kelembagaan pemerintahan maupun reformasi konstitusi.

Lemahnya kepercayaan 
 
Masih Sering terjadinya anarkisme massa menunjukan bahwa satu kaki kita masih tertinggal pada fase transisi, sedangkan satu kaki kita telah melangkah pada fase konsolidasi demokrasi. Yang seyogyanya ditandai dengan kultur demokrasi yang beradab. Ini adalah anomali fase transisi dan konsolidasi demokrasi yang menunjukan bahwa ada keterluputan kita dalam proses demokratisasi yang kita tempuh selama ini. Sedikitnya ada tiga penyebabnya.Pertama, proses demokrasi kita selama ini cenderung fokus pada aspek perangkat keras (hardwere) demokrasi.Akan tetapi kita lupa tentang pentingnya aspek perangkat lunak (softwere) demokrasi.Kita lebih mendahulukan urgensi restrukturisasi kelembagaan Negara dan reformasi konstitusi serta pembangunan yang bersifat materiil sembari menegasikan pentingnya edukasi nilai-nilai dan prinsip berdemokrasi.
Bangunan demokrasi juga tidak hanya mensyaratkan adanya mekanismechecks and balances untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan tapi juga membutuhkan modal social untuk menyemai high-trust society. Seperti di tegaskan oleh francis fukuyama, Trust adalah unsur penting dalam praktik demokrasi dan hubungan social antar masyarakat. Anarkisme hanya akan merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi serta berindikasi low-trust society. Kedua, kehidupan social kita tidak sepenuhnya di tunjang oleh hukum sebagai panglima. Potret penegakan hukum kita masih compang-camping, institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan mengalami krisis kepercayaan akut oleh masyarakat. Jangan heran jika ada gerombolan massa melempari dan mengacungkan senjata tajam ke arah polisi. Tindakan main hakim sendiri dan ekspresi anarkisme secara melawan hukum merupakan puncak gunung es terhadap krisis kepercayaan terhadap hukum. Ketiga, institusi demokrasi seperti legislatif dan eksekutif tidak diyakini sebagai representasi dari kepentingan public sehingga public tidak memosisikan sebagai jalur mediasi penyelesaian masalah mereka. Ini terutama disebabkan aktor-aktor Negara pada institusi demokrasi tersebut sering mendemonstrasikan teladan-teladan negatif terhadap publik.

Ketegasan merupakan keniscayaan

Perilaku-perilaku negatif dari pejabat Negara juga mendorong masyarakat melakukan kekerasan, hal itu menunjukan bahwa institusi demokrasi tidak mampu berperan sebagai kanalisasi embrio anarkisme. Namun, terlepas dari semua itu. Bagaimanapun tindakan tegas terhadap pelaku anarkisme harus dilakukan untuk menunjukan bahwa Negara ada dan Negara tidak boleh kalah oleh kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini bertujuan guna mengembalikan kewibawaan Negara agar tidak dilecehkan. Selain itu juga, aspek preventif jangka panjang terhadap anarkisme perlu juga dilakukan dengan jalan menabur benih-benih modal social, menjadikan hukum sebagai panglima, dan membuat institusi demokrasi berfungsi dan dipercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar